Pintu terbuka. Muncul Juna. Suami Bu Risa kaget. Ia segera mendekati Juna.
"Pak Juna, anda ada keperluan apa disini?"
"Pak Hans? Bukankah sebaliknya, sayalah yang bertanya kenapa anda disini?"
"Itu, Pak. Ada urusan anak. Saya lupa izin di kantor. Cuman sebentar ini. Maaf ya Pak." Pak Hans memasang wajah meringis dan tak enak.
Belum sempat Juna memberi tanggapan, seorang wanita mendekati Pak Hans dan mengandeng tangannya. Bu Risa melirik Juna dan suaminya bergantian, "Dia siapa sayang?"
"Jangan tidak sopan begitu, Bu! Ini Pak Juna. Atasan bapak."
Sementara itu Juna mengedarkan matanya ke arah lain.
"Oh, Pak Juna." Bu Risa membungkuk maaf dan memasang senyum lebar seraya menyodorkan tangan, " Saya Ris ..." Kalimatnya terhenti begitu Juna melaluinya dan berdiri disamping wanita sialan itu. Sudut bibirnya yang membentuk senyum lebar seketika segaris. Belum pernah ia diabaikan orang seperti ini.
Juna melihat Yuna yang mengusap kedua matanya.
"Kenapa?" Tanya Juna lembut. Memerhatikan wajah Yuna. Lalu ke sebelahnya, Aza. Ia terkejut melihat goresan-goresan luka di wajah Aza.
"Nggak, cuma kelilipan."
Juna tau, itu bohong. Ia menarik bibirnya dan menatap penuh pengertian, "Mau tisu atau instu?"
"Tidak perlu."
Juna mengangguk, " Ada apa memanggilku kesini?"
"Aza berkelahi dengan Tito." Yuna melirik kursi di seberang. Tempat bocah lainnya duduk didekat orang tuanya.
"Gara-gara?"
"Aza jelasin ke ayah."
Baik Aza maupun Juna sama-sama kaget. Dan setelah mendapati pelototan dari Yuna, Aza menjelaskan versinya seperti yang ia ungkapkan ke Yuna. Namun, mimik bingung Aza kentara sangat jelas. Berkali-kali ia melirik antara ibunya dan Juna.
"Oh, ini ayah Aza?" Tanya Pak Guntur.
"Ya, saya ayahnya." Juna mengerti. Ia menjabat tangan Pak Guntur tegas. Setelah dijelaskan Aza. Dan kode mata Yuna, ia paham. Ia harus berpura-pura menjadi ayah Aza. Walau sebenarnya itu kenyataan.
"Lah bukannya dia anak ha---" celetuk Bu Risa yang langsung terhenti begitu Pak Hans menyentak kaki Bu Risa.
"Sakit, sayang." Bu Risa mengelus kakinya padahal tidak benar-benar sakit. Tapi, tidak ditanggapi Pak Hans.
"Ini anak Pak Juna?" Pak Hans mengusap kepala Aza lembut sambil tersenyum. Aza memandang heran. Yuna memutar matanya.
"Ya. Kenapa?"dan Juna berbalik ke anak yang sedari tadi diam disamping Aza, " Jadi, itu anak Pak Hans." Dan raut Juna mulai berubah. Sorotnya makin tajam. Kedua alisnya berkerut tak senang. Tapi, hanya tersimpan dalam ekspresinya saja. Dan Pak Hans menyadari itu.
"Iya, Pak. Tito memang salah Pak. Nanti saya hukum dia. Dia memang bandel." Pak Hans kembali berdiri di sisi anaknya.
"Loh yah, kok begitu? Kan anaknya yang---" Sangkal Bu Risa tak terima namun lagi-lagi dipotong Pak Hans.
"Dan maaf juga kelakuan istri saya."
"Tito." Panggil Juna.
Tito melirik, "Apa?"
"Yang sopan Tito jawabnya! Kamu---" ujar Pak Hans geram.
Juna mengangkat tangan. Pak Hans diam. Ia memilih membungkuk, dan menatap Tito di matanya langsung, "Benar kamu hanya bercanda?"
"Iya."
"Candaan yang seperti apa?"
Tito melihat Aza, "hanya memberi julukan saja"
"Julukan apa?"
"Pelacur ..."
Plak!
"Ayah!" Teriak Bu Risa.
"Jaga bicara kamu Tito!!!" Pak Hans menatap anaknya marah. Sementara kepala sekolah dan Yuna kaget. Aza meringis 'uh, itu pasti sakit'.
"Pak Hans, tolong mundur. Dan anda juga tidak boleh menampar anak seperti itu. Terlebih lagi itu anak anda." Juna memandang tajam Pak Hans.
"Tapi, dia sudah menghina istri anda Pak Juna."
"Saya tau. Ini masih anak anda, bukan? Bukan seperti itu mengajarkan anak atas kesalahannya. Jangan berlebihan Pak. Hanya karena saya disini, dan mau menyelematkan nama anda. Anda berperilaku buruk. Saya tau, anda tidak akan begitu jika bukan saya yang disini. Terima kesalahan. Bukan melemparnya ke orang lain."
Pak Hans terdiam. Sedangkan Tito sudah tersedu-sedu menangis karena tamparan ayahnya. Dan Bu Risa tidak bisa berbuat banyak.
"Tito, apakah kau benar sering mengejek Aza dengan sebutan anak haram?"
Tito mengangguk.
"Kenapa kau melakukannya?"
" ... Tidak tau."
"Apakah untuk senang-senang?"
Tito diam.
"Kau senang melihat Aza kesal?"
"Ya."
"Kau senang mengganggunya?"
"Ya."
"Apakah Aza pernah memintamu untuk berhenti?"
"Ya."
"Tapi, kau masih melanjutkannya hingga hari ini?"
"Ya."
"Kau tau itu salah?"
"Tidak."
"Kau tidak bertanya pada orang tuamu, apa yang kau lakukan pada orang lain?"
"Tidak."
"Orang tuamu tidak bertanya-tanya tentang keseharian yang kau lakukan di sekolah?"
"Tidak."
Juna berdiri tegak. Pak Hans sungguh malu. Ia hanya menundukkan wajah. Bu Risa diam seribu bahasa. Juna berbalik menatap kepala sekolah.
"Bagaimana Pak? Ku harap Bapak bisa melakukan seadil-adilnya tanpa memandang jabatan saya maupun Pak Hans."
"Menurut saya, dua-duanya salah Pak. Tito memang salah. Ia sudah melakukan perundungan pada Aza. Tapi, Aza tidak melaporkan ke guru. Ia langsung memukul Tito didepan murid lain. Menurut saya, perbuatan itu bisa dijadikan contoh oleh murid lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar tata tertib sekolah."
"Jadi?"
"Saya menghukum Tito skorsing seminggu penuh. Dan menghukum Aza menulis di selembar kertas, untuk tidak melakukannya lagi di lingkungan sekolah. Lalu di kumpulkan ke Guru Walikelasnya."
"Saya rasa itu sudah keputusan bijak. Saya harap pihak sekolah lebih meningkatkan pengawasannya agar kejadian ini tidak terjadi lagi. Dan saya harap anda lebih tegas lagi, jangan membeda-bedakan antar siswa karena melihat dari orang tuanya. Karena ini sekolah negeri bukan swasta."
"Iya, Pak. Terima kasih masukannya."
"Dan jika memang uang dari pemerintah itu belum cukup. Anda bisa menghubungi saya." Juna mengeluarkan kartu namanya, "saya bisa memberi berapapun dananya. Bila perlu sekolah ini saya beli termasuk rumah anda juga beserta isinya."
Pak Guntur hanya mengangguk. Ia tak berani menatap Juna. Dan lainnya. Malu.
"Pak Hans."
"Ya, Pak."
"Di kantor nanti ke ruangan saya."
"I-iya Pak."
***
25 Maret 2020
Vote dan komen 😉Bagaimana? Lebih dari bayangan kalian atau kurang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
Ficción GeneralWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...