"Ibu, Aza dimana? Kok nggak ada di ruang tengah."
"Mungkin main sama Juna. Tadi, ibu lihat main bola disamping."
Dahi Yuna terlipat halus. Ia menekuk wajah masam. Kesal dengan keberadaan Juna dan sikapnya yang membawa Aza tanpa seizinnya. Ia berjalan ke arah yang diucapkan ibunya. Begitu pintu depan terbuka. Terdengar tawa riang Aza diseberang.
Yuna melangkah pelan ke balik tembok pemisah antara halaman samping dan teras rumah.
"Tidak, tidak, aw..."
"Yey, Aza menang! Ayo lagi Om! Lagi!"
Ia melihat dua sendal di belakang Juna yang difungsikan gawang, Juna yang menjaga gawang dengan tatapan serius, dan Aza yang tengah menendang bola. Sebenarnya tendangan bola ketika Aza menendang tadi masih pelan bahkan bisa ditahan dengan mudah, tapi Juna seolah dengan serius melemparkan tubuhnya ke tanah setelah bola melewatinya dan berpura-pura kalah. Laki-laki itu memerankan dengan baik, ia tertunduk kalah dan Aza kegirangan menang. Anak kecil itu merasa sangat senang telah mengalahkan Juna dan mencetak gol beberapa kali. Ia merasa hebat. Dan semangat yang belum pernah dirasakannya.
"Wah Aza hebat. Om gagal terus nahan bolanya."
"Makanya Om harus belajar dengan Aza." Aza menepuk dadanya dengan bangga.
"Iya, tendangan Aza kuat dan cepat. Sampai-sampai Om nggak lihat. Aza hebat. Aza pasti jadi pemain bola paling hebat."
"Iya dong Aza. Ayo Om, main lagi."
"Ayo!"
Dan begitu terus. Juna terus menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Baik sebelah kiri dan sebelah kanan kadang-kadang didepan. Tidak memperdulikan debu dan tanah yang menempeli baju dan celana mahalnya. Juga sakit yang kadang-kadang dilihat Yuna sepintas dari kernyitan diantara kedua alisnya. Laki-laki itu menahan sakit hanya untuk melihat Aza tertawa senang bukan main melihat permainan kesukaannya. Dan itu berlangsung hampir setengah jam. Yuna juga baru sadar, rasa takut itu tidak ada ketika ia melihat Aza bermain bola bahkan dengan Juna. Bayangan masa lalu memang lewat di kepalanya cuman hanya sekedar lewat. Seperti kenangan. Tapi, rasa gemetar di tangannya tidak muncul. Apa ini karena pikirannya terpusat karena melihat kebahagiaan Aza? Atau Juna yang terlihat mati-matian membuat Aza tertawa dengan mengorbankan dirinya?
Baru saat mendongak ke langit, menatap senja yang hampir habis. Dan jam sudah mendekati pukul enam. Yuna keluar dari persembunyiannya.
"Aza." Panggilnya.
Anak itu menoleh. Berlumur peluh tapi tak kepayahan sedikitpun. Masih semangat seperti tadi. Juna ikut menatap dirinya. Laki-laki itu lebih kumal. Celananya sudah kotor, kedua lengan bajunya sudah kecoklatan gara-gara tanah, berikut tangan dan kakinya berlumur tanah. Keringat didahinya bahkan bercampur debu tanah.
"Sudah dulu mainnya. Ayo mandi."
"Ibu tanggung."
"Hampir Maghrib Aza. Mandi."
"Besok kita bisa main lagi, Aza." Ujar Juna menenangkan.
"Janji ya Om?"
"Iya."
Aza dengan riang mendekap bola yang dibelikan Juna lalu berlari masuk ke dalam. Yuna menyusul setelahnya. Juna ikut berjalan di belakang. Ia membersihkan debu-debu kasar di lengan bajunya. Dan baru sadar ada luka panjang di lengan sebelah kanan. Ini pasti gara-gara tergesek permukaan tanah yang keras. Hanya sedikit darah yang keluar tapi tetap saja perih.
Langkah Juna terhenti saat melewati kursi dan meja teras. Di atas meja ada sebuah handsaplash. Ia mengambilnya.
"Yuna."
Yuna menoleh dengan tatapan tidak suka, "Apa?"
Juna tersenyum lebar, hatinya menghangat, "Terima kasih."
"Tidak jelas." Cibir Yuna hendak menutup pintu.
"Terima kasih sudah memberi---"
"Pergi sana! Aku mau muntah melihat wajahmu!"
"Padahal aku belum menyentuh---"
"Diam breng---"
"Ibu, jadi mandi?"
Kepala Aza muncul di balik tubuh Yuna.
***
23 Januari 2020
Vote dan komen 😉
Sepertinya besok, aku nggak update. Mau baca ulang lagi, dan perbaikan cerita ini. Karena minggu ini dan minggu depan aku sibuk magang, jadi waktu nulis + berpikirnya kurang.
Jadi, untuk update selanjutnya ditunggu aja ya. Mungkin nggak lama
Ayo yang suka bacaan ringan dan humor bisa baca ini https://my.w.tt/TZeSA7wwt3
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
Aktuelle LiteraturWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...