31

3.7K 125 10
                                    

Miranda mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sepi. Pagi yang biasanya diisi oleh debat ibu dan ayahnya mengenai apapun, Miranda tidak mendapatkannya pagi ini. Hanya grandma-nya yang terlihat tengah menyiapkan sarapan mereka. Miranda mendesah merasakan kehilangan.

"Pagi Miri. Bagaimana tidurmu? Nyenyak sayang?" Sapa Monica saat melihat Miranda berdiri mematung di pintu masuk ruang makan yang menjadi satu dengan dapur.

Miranda menatap neneknya dan tersenyum kecil. Melangkah mendekati Monica dan mengambil tempat duduk.

"Dimana semua orang grandma?" Tanya Miranda sambil menopangkan dagunya diatas telapak tangannya yang membuka.

Monica terhenti dari kegiatannya, mendesah kecil lalu membalik tubuhnya dan tersenyum lebar.

"Sepertinya kita yang pertama bangun sayang. Ah tidak, grandpa mu juga sudah bangun tadi, tapi sedang jogging di belakang. Sebentar lagi dia akan bergabung." Monica membalik tubuhnya kembali menghadap ke arah masakannya.

Miranda mengangguk malas.
"Mama? Papa? Belum bangun? Biasanya mereka bangun lebih dulu."

Sebelum Monica menjawabnya, sebuah suara dengan nada yang sangat keras terdengar. Kedua wanita beda generasi itu segera menolehkan kepala dan melihat ke arah dimana suara itu terdengar.

"...bukan urusanmu!"

"Kamu istriku! Sudah seharusnya kamu menjawab pertanyaanku. Dan sudah kewajibanku memastikanmu dalam keadaan selamat Arini!"

"Aku punya privasi Leo! Selama aku pulang, aku pastikan diriku dalam keadaan baik-baik saja. Aku tidak harus menjawab semua pertanyaanmu!"

"Dan jika kamu tidak pulang? Kemana aku mencarimu?"

Miranda melihat ibu dan ayahnya tengah berdebat. Mendengar apa yang mereka katakan dan melihat pakaian ibunya, sepertinya Arini baru saja datang. Bukankah ibunya juga sering seperti itu? Bepergian entah kemana untuk melakukan pekerjaannya. Tapi entah kenapa sepertinya ayahnya merasa marah. Miranda mengerutkan dahinya merasa heran dengan sikap ayahnya.

"Aku pulang Leo! Kau lihat sekarang aku sudah dirumah. Jangan membesarkan masalah ini."

"Aku tidak akan membesarkannya jika semalam kamu bisa dihubungi dan... dan... keadaan kita tidak seperti ini Arini. Kau tahu..."

"Leo, Reyna. Apa yang terjadi? Kenapa kalian sepagi ini sudah bertengkar?" Monica mendekat ke arah Arini. Melebarkan pandangannya menegur sikap anak-anaknya.

Leo menghela nafas kasar, "Arini tidak pulang semalam ma."

Monica menoleh dengan cepat ke arah Arini yang saat itu tengah menatap Leo dengan pandangan tak percaya bahwa Leo tengah melaporkan tindakannya kepada ibunya. Leo membalasnya dengan tatapannya yang tajam.

"Benar Reyna?" Tanya Monica menyentuh bahu Arini yang menegang. Monica melihat wajah Arini terlihat sangat lelah. Entah apa yang dilakukan putrinya semalam.

Arini menoleh ke arah Monica dengan pandangan menyesal.
"Maafkan aku ma. Ak..aku sangat sibuk kemarin jadi aku ketiduran di kantor."

"Oh ya? Tapi satpam kita di kantor mengatakan sebaliknya. Katakan yang sejujurnya Arini." Leo menjawab dengan tajam.

Dirinya menangkap kegugupan di antara suara Arini. Hatinya diliputi amarah. Merasakan bahwa apa yang dikatakan Arini adalah bukan yang sebenarnya. Dan entah kenapa, dalam hati kecilnya merasakan takut jika Arini mengatakan yang sejujurnya. Tapi, pikirannya tak tenang semalaman karena memikirkan istrinya itu.

"Ah... Jadi sekarang kamu memata-mataiku Leo? Seharusnya aku tidak terkejut. Sudahlah. Aku tidak mau memperpanjang masalah ini. Yang penting aku pulang, titik."

Forbidden Love (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang