44

2.2K 110 31
                                    

"Tentu saja... Kita semua mencintai Miranda. Mama tahu kalau kalian saling menyayangi. Bahkan melebihi kasih sayang kami." Arini tersenyum.

"Kenapa kau mengatakannya dengan wajah seperti itu? Seperti mengakui cinta pada lawan jenismu. Ah... Tentu saja. Kau persis seperti ayahmu. Tak memiliki ekspresi."

Lanjut Arini tertawa kecil mendengar Marcel mengungkapkan rasa cintanya pada Miranda dengan raut datar dan serius.

Ada desir aneh ketika mendengar putranya mengatakan itu. Seolah putranya itu sedang mengakui rasa cinta yang besar untuk seorang gadis. Bukan kepada saudaranya. Dan Arini mengakui, jika Marcel mengatakannya pada orang lain, mereka pasti mengira bahwa Marcel sedang membicarakan seorang gadis. Bukan saudaranya. Desir aneh itu membuat hatinya tak nyaman. 

Marcel menarik nafas panjang. Sulit. Akan sangat sulit. Terasa sulit sekali.

Tertawa kering, Marcel merasakan detak jantungnya sangat keras. Hampir meledak.

"Ya ma. Itu benar. Aku mencintainya." Desis Marcel pelan sambil menundukkan kepala. Saking pelannya, desis itu tak terdengar di telinga Arini dan Arini hanya mendengar hela nafas Marcel.

"Dia adikku satu-satunya. Aku memang menyayangkan perpisahan kami yang bisa dibilang tidak menyenangkan, tapi... Aku merasa itu yang terbaik. Lebih baik seperti ini. Aku tidak bisa melihat kesedihan di wajah Miranda." Lanjut Marcel.

"Tapi... Miranda bilang kalau kamu berjanji akan membawanya ke taman bermain Cel. Jadi, apakah itu benar? Apakah janji itu memang kau ucapkan dan bukannya hanya mimpinya semata?"
Arini mengerutkan dahinya.

Marcel menahan nafasnya, debar jantungnya semakin terasa cepat dan membuatnya gugup. Berdiri dan melangkah menjauhi ibunya, Marcel melangkah menuju ke jendela dan menatap pemandangan didepannya. Menutupi kegugupan yang melanda, Marcel mengalihkannya ke yang lain.

Pandangannya menggelap karena marah pada dirinya sendiri. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya dan memejamkan mata sebelum mengatakan sebuah kebohongan.

"Maaf ma.. Sepertinya, Miranda hanya bermimpi. Mama tentu ingat jika Miranda sedang sakit, dia pasti memimpikan hal-hal yang tidak ada."

Di detik-detik terakhir Marcel memutuskan untuk menutupi kenyataan dan membungkam kejujurannya. Di depan ibunya, Marcel tak sanggup menyakiti lebih besar lagi jika beliau mendengat bagaimana putranya telah memiliki rasa terlarang. Dan seperti yang dikatakan ayahnya tadi, untuk sebagian orang apa yang dirinya miliki untuk Miranda, hanyalah suatu hal yang menjijikkan.

Marcel tak bisa melukai ibunya lebih besar dari ini. Tidak untuk sekarang. Karena Marcel menyadari bahwa kepergiannya hanya meninggalkan kesedihan, lalu jika ditambah dengan kejujuran yang menyakitkan, apa yang akan dilakukan ibunya? Marcel tak berani membayangkan.

Arini mengerutkan alisnya, menautkannya dan membentuk raut kesedihan. Meremas kedua tangan dalam genggamannya sendiri. Kali ini dia tahu, bahwa dirinya akan berpisah dengan putra satu-satunya.

"Jadi... Kau sudah memutuskannya Cell? Kau yakin?" Kata Arini pelan.

Marcel menoleh ke belakang dan menganggukkan kepala. Arini menatapnya dengan penuh kesedihan.

"Maaf, harus menginterupsi percakapan kalian. Tapi, heli ku sudah hampir sampai dan kami harus segera berangkat. Apakah masih ada yang akan kalian perbincangkan?" Suara berat dan dalam khas Bintang terdengar.

Arini menoleh cepat ketika mendengar kata-kata Bintang, "sekarang? Mak-maksudmu saat ini juga kalian akan berangkat?" Tanya Arini bergetar.

Marcel menatap ke arah ayahnya dengan pandangan yang penuh tanya. Dahinya berkerut. Seingatnya, tak ada pembicaraan diantara mereka bahwa mereka akan berangkat hari ini. Saat ini juga.

Forbidden Love (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang