49

1.8K 99 8
                                    

Ketukan pintu terdengar dari luar, Miranda mengedipkan mata lalu menoleh dan melihat ibunya dengan senyum lebar tengah memasuki kamar.

"Hai sayang, sedang sibuk?" Tanya Arini mendekati Miranda yang duduk di depan meja belajarnya dan terlihat banyak buku terbuka lebar di sekitarnya, bahkan juga terlihat di atas ranjang yang berada di belakang Miranda.

Arini memperhatikan putrinya yang tengah fokus di depan laptop yang terbuka.

"Ada apa ma?" Tanya Miranda perlahan namun tak menoleh ke arah Arini karena jemarinya sibuk mengetik.

Arini berdiri di depan putrinya dan membelai ujung kepalanya.

"Emm... Di bawah ada Marco sayang. Kamu mau kan menemuinya sebentar?"

Jemari Miranda terhenti, hela nafas kesal terdengar meskipun samar. Lalu mendongak ke arah ibunya. Wajahnya terlihat cemberut.

"Marco barusan datang, dia bilang mau ajak kamu keluar. Gimana?"

"Mama kan lihat aku lagi sibuk banget. Aku mau ngejar skripsiku biar cepet selesai ma. Lagian kenapa Marco gak ngehubungin aku dulu sih kalo emang mau ajak keluar? Aku kan bisa bilang kalo lagi sibuk dan gak tiba-tiba datang ajak-ajak gini." Miranda kesal.

Memang tidak sekali dua kali sikap Marco yang semakin terlihat menyebalkan bagi Miranda seperti ini terjadi. Terkadang di pagi hari, tiba-tiba dia datang dengan alasan mengantarkan kue atau apapun dari ayahnya untuk keluarga Miranda. Dan akhirnya Miranda berangkat ke kampus dengan di antar pria itu.

Walau mereka tahu bahwa itu hanya alasan Marco saja untuk semakin mendekatkan diri. Arini dan Leo hanya tertawa setiap kali Miranda mengeluhkan sikap Marco yang semakin terlihat posesif. Padahal mereka berdua tidak memiliki hubungan apapun, apalagi hubungan kekasih.

Namun sepertinya malam ini kekesalan Miranda berada di puncaknya. Tidak mau meladeni sikap Marco yang semakin membuatnya sebal. Marco memang tampan dan sopan. Jenis laki-laki yang pasti disukai oleh para orang tua yang mendambakan calon mantu. Pekerjaannya yang menjanjikan masa depan pun semakin menunjang kelebihan dirinya. Tapi semua itu tak membuat Miranda bertekuk lutut. Hal yang saat ini sedang diusahakan Marco.

"Tolong ma... Miri sedang sibuk. Besok Miri udah harus memberikan tugas-tugas ini ke dekan. Miri gak bisa ninggalin semua ini walau sebentar. Mama sendiri tahu, Miri sampai gak turun makan. Gak ah ma, Miri gak bisa nemuin Marco walau cuma sebentar."

Arini melepaskan nafas panjang. Memandang putrinya yang saat ini terlihat sangat sibuk. Memang betul, beberapa hari ini Miri menyuruh asisten rumah tangga mereka untuk membawa makan malamnya ke kamar. Arini bisa memaklumi sikap Miranda.

Dengan tersenyum lembut dan mengelus kepala Miranda, Arini mengangguk.
"Baiklah sayang. Mama akan bilang ke Marco kalau kamu sangat sibuk. Ya udah, gak usah cemberut lagi. Nanti cantiknya ilang."

Miranda tersenyum. Berterima kasih kepada ibunya.

Arini meninggalkan kamar Miranda. Sepeninggal ibunya, Miranda menatap ke depan dimana layar laptopnya terbuka. Pandangannya beralih ke penanggalan yang terletak di sudut meja. Beberapa tanggal telah dilingkari. Tinggal beberapa hari lagi dan semuanya selesai. Waktu yang dinantikannya akan tiba. Bertemu Marcel.

-----

Miranda sangat sibuk. Benar-benar sibuk dan tidak bisa di ganggu gugat. Bahkan Erina tak mampu menggoyahkan sedikit saja keinginan gadis itu untuk sedikit bersenang-senang dan meninggalkan sebentar bab-bab yang membuat kepala pusing.

Tapi Miranda sedang dalam keadaan yang sangat mendesak. Keinginannya untuk segera menuntaskan skripsi dan menyusul Marcel, begitu menggebu. Meninggalkan Erina yang terus berteriak memanggil namanya, Miranda berjalan menuju kantor dosen dan menyerahkan skripsinya.

Forbidden Love (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang