35

3.1K 117 8
                                    

"Mana yang harus aku pilih ma?"

Pagi itu Marcel dengan wajahnya yang keruh menghampiri Arini yang masih berada di dalam kamar. Beruntung sekali karena saat itu Leo sedang berolahraga. Sehingga ketukan pintu kamar orangtuanya, Arini lah yang membuka.

Arini meremas erat kedua tangannya. Saat ini Marcel dan Arini sedang duduk berhadapan di sofa panjang lembut yang ditempatkan di balkon kamar. Tempat dimana biasanya Arini dan Leo menghabiskan malam untuk berbincang ketika keduanya belum bisa tidur dan ingin membicarakan hari mereka yang melelahkan.

Arini menatap nanar pandangan putranya yang kini menatapnya penuh kesedihan. Ibaratnya makab buah simalakama, Arini pun tak bisa memberikan pilihan pada putranya.

"Ma..."

Marcel memanggilnya, membawanya kembali ke bumi. Setelah bagaimana dirinya membayangkan kesakitannya akan ditinggal pergi putranya. Walaupun sebelumnya hal itu pernah terjadi, Marcel pernah meninggalkan dirinya untuk menimba ilmu di negara orangtuanya. Tapi kali ini, terasa berbeda. Seolah kepergian Marcel adalah kepergiannya untuk selamanya.

Arini tak sanggup menahan tangisannya. Dengan tangan gemetar, Arini menjulurkan tangannya untuk meraih sisi wajah putranya. Dengan membelainya, Arini menatap sendu Marcel.

"Jadi, dia memberikanmu pilihan itu?"

Suara Arini bergetar menahan tangis walaupun airmatanya menetes. Marcel menatap ibunya dengan tatapan merana. Tak pernah terbersit di benaknya untuk membuat ibunya berlinang air mata. Marcel mengulurkan tangan dan mengusap air mata Arini.

"Ma... Jangan menangis. Aku hanya ingin bertanya pada mama. Apa yang harus aku pilih ma? Tetap disini tinggal bersama kalian, atau aku ikut dia pergi ma?"

Arini memejamkan matanya. Meresapi sentuhan tangan Marcel di pipinya dan tersenyum. Dirinya adalah seorang ibu. Dan sudah menjadi kewajibannya untuk memberikan kebahagiaan maupun dukungan atas pilihan anak-anaknya. Mampukah dirinya egois dan mengatakan bahwa Marcel tak boleh pergi untuk terus berada di sampingnya? Di samping Leo yang selama ini telah memendam kebencian pada laki-laki lain namun dilampiaskan pada putranya?

Mampukah Arini mengambil keputusan itu dan membiarkan Marcel melalui hari-harinya dengan penuh siksa batin dan mental? Arini menggelengkan kepalanya. Tidak bisa. Dia tidak bisa mengambil keputusan itu. Karena semua keputusan ada di tangan Marcel. Dan Arini tahu apa yang diinginkan putranya.

Membuka matanya, Arini menatap Marcel penuh cinta dan sayang.

"Masihkah mama harus menjawabnya Cel?" bisik Arini. Tenggorokannya tercekat dan tak sanggup mengeluarkan suara yang bening serta jelas.

Berhenti dan menegang. Tubuh Marcel tak bergerak. Hanya menatap penuh kebingungan pernyataan ibunya yang tak dirinya mengerti.

Menurunkan tangan dan menangkup punggung tangan ibunya yang lembut, Marcel mengernyitkan dahinya.

"Maksud mama... Apa?"

Masih dengan senyuman yang Marcel tahu bukan senyuman bahagia. Arini masih membelai wajah putranya.

"Bukankah semuanya sudah jelas Cel apa yang kamu pilih?"

"Tidak ma, aku masih bingung. Aku disini bertanya sama mama, mana yang harus aku pilih. Tetap disini atau pergi dengannya? Aku bertanya karena aku tidak bisa memikirkan diriku sendiri ma. Aku memiliki mama dan Miranda disini. Dan aku pikir, aku harus bertanya lebih dulu sebelum memutuskannya. Terutama pada mama. Apa aku salah ma?"

Arini mengulurkan tangan satunya dan kini kedua tangannya menangkup wajah Marcel.

"Kamu tidak akan berada disini jika sudah memutuskannya Cel. Jika itu yang menjadi alasanmu, kamu tidak ada disini duduk bersama mama untuk bertanya. Jika memang mama dan saudaramu adalah prioritasmu." Arini mengatakannya dengan penuh kelembutan.

Forbidden Love (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang