Marcel duduk di bibir ranjang kamar hotel tempat Bintang tinggal selama di Jakarta. Menatap sedih koper hitam besar yang tergeletak di sampingnya. Wajahnya sarat dengan kebimbangan. Siapapun yang melihatnya, dengan mudah mampu menebak bahwa hatinya saat ini sedang mendua. Antara memilih untuk tetap tinggal di sini atau ikut Bintang pergi. Dilema, pastinya.
'Kamu mau pergi Cel? Kamu diusir papa? Mau kemana Cel? Oh, aku tahu. Ke apartemen kamu kan? Ok, gak papa. Kita bisa ketemuan disana aja.'
"Bukan, bukan karena papa Miri."
'Lalu? Kenapa kamu pergi? Ada apa sih Cel? Cerita ma aku. Oh iya, kemarin gimana Cel? Kamu udah ketemu sama ayah kamu kan? Trus-trus kalian ngomongin apa aja Cel? Kok gak ngabarin sih Cel kalo mau pulang malam? Aku nungguin tauk.'
"Mir, maaf. Aku minta maaf."
'Untuk?'
"Aku akan pergi Mir. Aku minta maaf karena... Tidak bisa menjanjikan apapun. Aku tidak bisa berada di sampingmu lagi."
'Kamu ngomong apa sih Cel? Maksud kamu apa? Ngomong yang jelas dong. Mau kemana? Kenapa kamu pergi? Trus-trus maksud kamu gak bisa bareng lagi sama aku apa? Gak jelas banget sih?'
"Aku akan pergi dengan ayahku Mir. Aku gak bisa terus disini. Aku akan pergi dimana seharusnya aku berada. Dan... Itu bukan bersamamu."
Plak!!
Menyentuh pipinya yang seolah masih terasa pukulan dari tangan Miranda, walaupun sudah beberapa jam yang lalu. Marcel merasakan sakit. Bukan dari tangan Miranda, tapi terasa sakit di hatinya. Hatinya terasa di remas kuat saat melihat pandangan nanar Miranda yang penuh dengan kemarahan dan kekecewaan.
Miranda menamparnya dengan kuat hingga terasa panas yang panasnya juga dirasakan gadis itu pada telapak tangannya. Tapi tak lebih panas dari yang terasa di hati Marcel saat melihat pancaran mata gadis itu penuh luka. Marcel tahu bahwa Miranda merasa kecewa. Sangat kecewa.
Miranda meninggalkan kamarnya tanpa kata dengan mata semerah api, tanpa ucapan pun Marcel tahu betapa parah sakit yang dirasakan gadis itu hanya dari lelehan air mata yang menyeruak di kedua kelopak matanya. Marcel mulai membenci dirinya sendiri. Dan sekarang, disini Marcel merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk hotel berbintang lima mulai mempertanyakan dirinya sendiri atas keputusan yang diambilnya.
Tok. Tok.
Bintang mengetuk pintu kamar Marcel. Sedetik kemudian pintunya terbuka dan terlihat wajah Marcel yang resah. Bintang menatapnya lamat-lamat. Seolah mengetahui kebimbangan yang tengah dirasakan putranya.
"Aku mau keluar, ada rapat penting. Kalau kamu lapar, pesan saja."
Marcel mengangguk pelan. Bintang mendesah pelan.
"Dan... Aku juga ingin mengatakan bahwa waktu berpikirmu ku perpanjang menjadi 3 hari. Ada urusan yang menjadikan kepergianku harus mundur 3 hari. Selama itu, aku ingin kamu memikirkannya matang-matang. Tanyakan pada dirimu, apa yang kamu inginkan son. Karena aku tidak mau memaksakan kehendakku. Dulu... Maupun sekarang."
Bintang menepuk bahu Marcel dan melenggang pergi. Marcel menatap kepergian ayahnya dengan perasaan tak nyaman karena seolah ayahnya mengerti kerisauannya akan keputusan yang diambilnya.
Jika saja bukan karena Miranda, pasti dirinya akan dengan senang hati memutuskan untuk melangkah pergi. Ibunya sudah memberikan lampu hijau atas keputusannya. Tapi...

KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Love (2)
Romancecerita ini lanjutan dari story Forbidden Love yang berada di akun sebelumnya @Just_Arsha.