39

2.9K 120 7
                                    

Marathon neh..

#####

Miranda menggeliatkan tubuhnya. Merasa pegal dan letih bersamaan. Tubuhnya seolah remuk apalagi bagian itu. Bagian sensitifnya. Entah kenapa semalam Marcel melakukannya sedikit kasar. Seolah ada sesuatu yang membuatnya gundah dan resah. Dan sex, sebagai jalan keluar. Ataukah ada sesuatu yang dirinya tidak ketahui saat pria itu keluar dari kamar?

Semalam ketika Miranda tengah tertidur karena lelah dan ngantuk berat, tiba-tiba dirasakannya Marcel menyetubuhinya begitu saja. Walaupun awalnya ada rasa nyeri karena sebelumnya tak ada penetrasi, tapi ketika tubuhnya sudah menyesuaikan gerakan Marcel, kenikmatan lah yang dirasakannya.

Setelah percintaan itu, Miranda tak mampu bertanya karena tubuhnya sudah benar-benar letih. Sehingga memutuskan bahwa pagi ini mungkin pertanyaan itu terlontar.

Tapi...
Mana Marcel? Batin Miranda.

Miranda terdiam sesaat mencoba mendengarkan suara-suara di sekitarnya. Suara air mengalir? Tidak ada. Suara gesekan kaki berjalan? Tidak ada. Sunyi. Tidak ada siapapun di sekitarnya dan itu berarti dirinya sendirian di apartemen ini.

#####

Bintang mengetukkan jari jemarinya di tangan sofa. Tidak berbunyi sebenarnya, tapi seolah itu adalah detak jantung Marcel yang di ketuknya. Karena suaranya seirama. Sementara postur tubuhnya yang kelewat santai dengan satu kaki bertumpu di kaki lainnya malah membuat Marcel seolah melihat ayahnya sedang mengancam dirinya.

Bintang menatap tajam putranya. Terlihat tenang namun terasa menyeramkan. Bagaimana bisa pria itu terlihat mengintimidasi, sementara yang dilakukannya hanya diam? Marcel tak habis pikir. Marcel duduk di sofa yang dibalut dengan kain sehalus sutra, tapi seolah dia duduk di atas jarum. Membuatnya tak nyaman.

"Aku tidak bisa pergi bersamamu ayah. Maafkan aku..."

Bisik Marcel dengan wajah menunduk. Seolah anak yang mengakui kesalahan pada orangtuanya. Dan membatalkan kepergian, bisakah itu disebut kesalahan? Seharusnya tidak. Karena itu adalah sebuah pilihan. Batin Marcel berperang.

"Tatap aku ketika mengatakan sesuatu son. Apakah saat ini kau sedang mengakui sebuah kejahatan sehingga tak mampu menatap wajah ayahmu?"

Deg!

Sontak Marcel mengangkat wajahnya. Menggeleng dengan cepat, terlalu cepat. Bintang menelengkan kepala dan menatapnya dengan seringai tipis. Seolah menangkap tangan putranya ketika sedang mencuri sesuatu. Menarik.

Berdebar, Marcel merasakan denyut jantungnya berdebar kencang. Ditatap dengan pandangan seperti itu, Marcel tak mampu bergerak. Kaku. Tubuhnya terasa kaku. Sesak. Tak mampu bernafas.

"Dan... Alasanmu? Sepertinya aku salah menangkap kode yang kau berikan kemarin saat datang kesini dengan sebuah koper besar yang bahkan saat ini masih menghuni kamarmu. Ataukah itu hanya sebuah keputusan impulsif?"

Tenang dan datar. Bintang mengeluarkan suaranya bahkan tanpa emosi. Tak ada raut terkejut saat mendengar penolakan ataupun amarah di wajahnya. Dan itu membuat Marcel sulit mengeluarkan sebuah alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan ayahnya.

Harus berbicara atau tidak sama sekali. Batin Marcel menjerit.

"Aku... Aku minta maaf. Aku... Aku merasa itu bukan keputu..san yang baik bagi diriku. Bagi hidupku. Maksudku, aku sudah hidup begitu lama disekitar keluargaku. Mama dan saudaraku. Tapi, meninggalkan mereka begitu saja untuk waktu yang lama, itu... Berat."

Bersusah payah Marcel mencari alasan dan jawaban yang tepat. Dan.. Itu tepat. Baginya. Menelan ludah dengan sulit saat melihat pandangan Bintang yang terarah tepat di matanya. Seolah menelanjangi dan mencari kebenaran disana. Setitik keringat mengalir dari dahi Marcel. Dia gugup.

Forbidden Love (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang