Marcel menatap ke atas, ke sebuah nama hotel yang begitu besar tertulis di atas kepalanya. Bibirnya menyungging tipis miring saat tatapannya menurun dan menetap ke depan. Tajam dan dalam.
Seorang petugas valet parking tiba di dekatnya. Marcel menyerahkan mobilnya untuk diurus. Memakai kacamata hitam nya, Marcel berjalan menuju ke tempat resepsionis berada. Sebelum dirinya sampai di depan meja panjang itu, seseorang tergopoh-gopoh mengejarnya.
Marcel menoleh ketika namanya dipanggil. "Tuan Arya!"
Brian mengejarnya. Marcel berhenti dan menunggu pria itu sampai di dekatnya.
"Tuan--hah-hah--tuan, maaf kamarnya belum disiapkan--hah-hah."Marcel menatap Brian yang terengah-engah. Menunggu lanjutan kata-kata Brian, Marcel berdiri tegak didepannya. Membuka kacamata yang menghalangi pandangannya yang tajam, demi menunjukkan tatapannya yang mengintimidasi.
Brian menyentuh dadanya, mengelusnya beberapa kali. "Tuan, mereka tidak mau menukar kamarnya. Saya sengaja menunggu si penyewa untuk memberikan penawaran itu. Tapi, mereka belum tiba sampai saat ini."
Merasakan tatapan Marcel yang semakin tajam, Brian mengerut ketakutan. Walaupun aura mengancam Marcel tidak semenakutkan Bintang, tapi ditatap dengan pandangan setajam itu, tak urung membuat Brian meringkuk ketakutan.
"Jadi, kau meminta aku duduk disana menunggu si pemilik kamar ini? Begitu maksudmu?" Tanya Marcel perlahan dan penuh tekanan.
Brian menatap takut wajah Marcel yang semakin suram. Bodohnya ia, menyuruh atasannya untuk duduk menunggu. Memukul kepalanya, Brian menggelengkan kepala.
"Maafkan saya tuan, bukan maksud saya seperti itu. Ba-bagaimana kalau tuan menginap di kamar satunya. Tepat disebelahnya. Untuk pemandangan dan fasilitas, kurang lebih sama tuan. Eh bukan--tapi, pasti sama. Anda bisa beristirahat lebih dulu dan saya yang akan menunggu pemilik kamarnya. Bagaimana tuan? Tuan Arya pasti lelah sekali setelah bekerja seharian dan menempuh perjalanan yang cukup jauh kesini."
Brian menyeringai kecil. Mencoba mencetuskan sebuah ide yang menurutnya masuk akal. Demi menghindari kemarahan Marcel.
Marcel menatap Brian sejenak, wajah asistennya yang terlihat penuh putus asa membuat pria itu sedikit merasa kasihan. Menghela nafas, Marcel menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, siapkan kamarnya dan aku akan menempatinya malam ini. Kau benar, aku cukup lelah untuk berdebat. Aku tunggu sekarang."
Wajah Brian yang terlihat kecut kini berubah semringah. Bujuk rayunya berhasil. Dengan semangat tinggi, Brian mohon ijin untuk segera meminta kunci pada resepsionis.
Dalam perjalanannya menuju ke meja resepsionis, berkali-kali Brian mengurut dada dan menghembuskan nafas lega. Keputusannya untuk mem-booking kamar itu tidak salah. Dan dengan segera meminta kunci kamar pada resepsionis.
Melihat Marcel semakin dekat dengan tempatnya berdiri, Brian menunggunya dengan senyuman lebar. Sedikit menundukkan tubuh, Brian mempersilakan Marcel untuk berjalan lebih dulu ke arah yang dituju.
Diikuti oleh seorang bellboy yang sedari tadi membawakan kopernya, ketiganya kini memasuki lift dan naik ke lantai yang dituju.
Setibanya di depan kamar, Marcel tidak serta merta memasukinya. Pandangannya memutar ke arah kamar 1009 yang berada tepat di depannya. Berseberangan dengan kamar yang saat ini akan ditempatinya. Marcel menghela nafasnya kasar.
Saat ini hanya lelah yang dirasakannya dan ingin segera berbaring tanpa beban pikiran. Masalah kamar itu akan di serahkan ke kaki tangannya, Brian.
Setelah mengucapkan selamat malam, Brian menutup pintu kamar Marcel dan beranjak menuju ke lantai dasar. Ia harus menunggu si pemilik kamar 1009 itu dan memberikan penawaran atas kamarnya. Menggelengkan kepala, Brian merasa tindakan Marcel melebihi batas. Hanya demi sebuah kamar, Marcel sampai memberikan penawaran uang sebanyak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Love (2)
Romancecerita ini lanjutan dari story Forbidden Love yang berada di akun sebelumnya @Just_Arsha.