57

1.8K 119 10
                                    

Double up yaaa...

Selamat membaca.
#####

Marcel bergetar. Miranda menunduk menatap ke arah tangan besar yang melingkupi jemarinya. Mengernyit tak mengerti, tak nyaman melihatnya. Seperti sekarang saat dirinya ditarik begitu Marcel meminta ijin ayahnya akan berbicara dengan dirinya.

Marcel menarik tangan Miranda menuju ke lift. Setelah mengatakan kepada ayahnya, bahwa ia ingin berbicara dengan gadis itu. Keposesifannya semakin menjadi saat melihat tatapan Bintang yang penuh bahaya walaupun senyuman tersungging disana. Mengerikan.

Tidak. Tidak. Ia tidak mau mempertaruhkan Miranda di tangan ayahnya.

Mengingat bagaimana bergetar tubuhnya kala ayahnya berjalan mendekat. Kenapa harus secepat ini, ia tak memiliki rencana apapun untuk menghadapi Bintang. Tidak sedikitpun.

Miranda merasakan tubuhnya ditarik dengan sedikit paksaan. Genggaman Marcel yang mencengkeram kuat, terasa nyeri di pergelangan tangannya. Dan ia yakin, akan ada bekas merah nantinya.

Entah bagaimana, tapi Miranda meyakini sesuatu, sebuah ketakutan sedang merasuki pikiran Marcel. Ia merasakannya. Apakah ayahnya? Ayah kandung Marcel yang menyebabkan Marcel merasakan ketakutan ini? Apakah selama tinggal bersama ayahnya, Marcel mendapatkan tindakan buruk? Mengingat Eun Ae pun memberikan gestur tak nyaman berhadapan dengan ayahnya.

Berbagai pertanyaan bercokol di benaknya. Sikap Marcel yang berubah drastis saat bertemu dengan ayahnya. Membuat Miranda merasakan ketidaknyamanan dalam hatinya. Tapi, memang ayah Marcel memiliki aura menakutkan. Miranda bergidik mengingatnya.

Memencet tombol di depan pintu lift berkali-kali, Miranda menatap Marcel. Tak ada ketenangan disana. Berusaha menarik tangannya beberapa kali, namun gagal. Marcel mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat. Seolah takut Miranda menghilang.

"Ada apa? Ada apa sebenarnya?" Tanya Miranda di balik ketidaksabaran Marcel menunggu pintu lift membuka. Marcel hanya menoleh sebentar namun tanpa jawaban.

"Sialan, Marcel. Katakan sesuatu. Apa-apakah ayahmu melakukan hal buruk terhadapmu selama kalian tinggal bersama?"

Marcel diam. Dengan genggaman yang tak dilepaskan di sekitar pergelangan tangan Miranda, Marcel menghadap Miranda. "Kau harus pergi. Secepatnya."

Tercengang mendengarnya. Miranda memaksa menarik tangannya dengan sentakan keras. Tapi tetap gagal. Sialan. Miranda ingin menangis karenanya.

Marcel menarik tangan Miranda dan membawa gadis itu mendekat, lebih dekat ke tubuhnya. Dengan suaranya yang rendah dan berat, Marcel berbisik di depan wajah Miranda. "Dengarkan aku kali ini, kau harus pergi secepatnya."

Marah. Kesal.
Amanda menatap Marcel dengan kemarahan. "Ap-appa?"

"Maksudmu apa Cel? Aku tidak jauh-jauh datang kemari hanya untuk kau usir. Dan, tunggu- siapa memangnya dirimu? Seenaknya saja mengusirku? Kau-kau-"

Nafas Miranda menderu. Belum selesai ia melontarkan kemarahannya, bunyi lift berdenting tanda pintu terbuka terdengar. Keduanya menoleh bersamaan ke arah lift dan dengan segera Marcel menarik Miranda untuk memasukinya. Dan sesampainya di dalam, Miranda menghempaskan tangan Marcel kuat-kuat.

"Lepaskan!" Pekiknya.

"Miri, kumohon dengarkan aku." Marcel menahan perasaannya. Suaranya rendah dan bergetar. Terdengar kurang meyakinkan.

Dengan pandangannya yang berkobar, Miranda mengacungkan telunjuknya dan menusuk dada Marcel yang keras. Sial. Dadanya terasa liat.

"Kau yang harus mendengarkanku sialan bajingan! Kau bukan apa-apa untukku. Kau sudah meninggalkanku dengan janji manismu. Kau meninggalkanku seperti sampah setelah meniduriku. Kau pikir aku siapa, hah! Kau menyamakanku dengan pelacur yang sering kau sewa?! Aku membencimu. AKU MEMBENCIMU!!"

Forbidden Love (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang