45

2K 101 4
                                    

Kehilangan. Patah hati. Untuk yang pertama kali.

Miranda menatap bayangan helikopter yang membumbung tinggi. Mendongak ke atas dan lelehan air mata terus membanjiri wajahnya.

Kata itu belum diungkapkan, tapi kesempatan sudah menghilang. Memohon Marcel untuk tetap di sampingnya, kini tak mungkin lagi.

Jatuh di atas ubin yang keras. Kedua kakinya terasa lemas tak bertulang.

Menangis tanpa suara, hanya air mata yang tak henti mengucur deras. Dadanya terasa sesak, hatinya terasa sakit.

Ditinggalkan tanpa sepatah kata, tanpa kata perpisahan. Kehilangan satu-satunya mahkota dan cinta yang pernah dirasakan. Miranda merasa terbuang.

Miranda berdiri dengan segenap tenaga. Menumpu kedua tangan diatas lutut, berusaha bangkit di atas kedua kaki. Berjalan terseok-seok menuju ke tepi atap. Memegang erat besi penghalang disekitarnya, Miranda menatap nanar jauh ke depan. Jauh ke atas. Ke angkasa. Disana, disanalah Marcel berada. Tak terhingga.

Perlukah dirinya menyusul Marcel ke tempat yang dirinya tahu pasti dimana. Dimana? Marcel dimana? Ah, pasti grandpa tahu lokasinya. Batin Miranda.

Memejamkan mata, menikmati angin menampar wajahnya. Menghapus air mata hingga kering tak bersisa. Rambut panjangnya melambai seolah mengucapkan selamat tinggal pada cintanya yang terbuang.

Miranda merasakan detak jantungnya kembali normal. Sudah waktunya pergi, begitu pikirnya.

Miranda berbalik dan melihat ibunya berdiri disana. Di depan pintu penghubung atap yang terbuka. Miranda terdiam dan hanya menatap ibunya yang melangkah mendekat. Arini berdiri 2 langkah di depan Miranda. Melihat kehilangan dan putus asa yang amat dalam. Hati Arini tersayat. Entah hubungan apa yang dimiliki kedua anaknya sehingga menimbulkan kepedihan yang begitu dalam ketika perpisahan terjadi.

"Aku ingin menyusulnya ma. Aku ingin pergi kemana pun Marcel berada."

Arini membulatkan mata dan tercengang mendengar kata-kata Miranda yang seolah gadis patah hati. Mengejar cintanya bahkan ke ujung dunia?

"Apa yang kau katakan ini sayang? Bagaimana bisa kau meninggalkan kami sendiri disini tanpa kebanggaan kami? Kami sudah kehilangan satu putra, tidak akan sanggup bagi kami jika harus kehilangan satu lagi. Tidak Miranda. Kau tidak boleh pergi. Lagipula, papamu juga tidak akan mengijinkan."

Miranda melihat kesepian disana. Kehilangan yang juga dirasakan oleh dirinya, pun juga dirasakan oleh ibunya. Hanya dalam konteks yang berbeda. Sangat berbeda.

Menghela nafas panjang, suara Miranda bergetar. "Tapi aku harus mengejarnya ma. Atau...dia akan menghilang selamanya."

Arini mengerutkan dahi dan melangkah satu langkah ke depan. Menyentuh kedua lengan Miranda dan meremasnya.

"Ada apa Miri? Apa yang terjadi diantara kalian? Katakan pada mama. Jika Marcel melakukan kesalahan yang tidak termaafkan, mama sendiri yang akan menjemputnya dan menyuruhnya memohon maaf padamu nak. Katakan pada mama, apa yang telah dilakukan kakakmu?" Arini menatap tegas pandangan Miranda. Dan Miranda tergugu.

Menjemput Marcel dan membawanya pergi dari ayahnya? Menyuruhnya tinggal disini di bawah tatapan kebencian papanya? Membuatnya datang dan memohon maaf, bisakah itu mengembalikan kembali virginitasnya?

Tidak. Jawabannya tidak.

Maka Miranda memutuskan akan menunggu sampai Marcel datang menjemputnya. Sampai kapan pun.

"...katakan nak. Apa yang telah diperbuat saudaramu itu?"

"Ma... Marcel tidak mengatakan apapun? Sebelum kepergiannya, tentangku?" Miranda balik bertanya tanpa mengindahkan pertanyaan ibunya sendiri.

Forbidden Love (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang