50

2K 101 6
                                    

Miranda termenung di atas ranjangnya. Sore tadi rencananya ia akan pergi ke tempat Erina. Tapi sesampainya ia di tempat Erina, gadis itu tidak ada. Dihubungi pun sulit. Nomor ponselnya tidak aktif. Bersandar di kepala ranjang dan menatap ke depan dimana taman belakang dengan segala kerlip lampunya terlihat indah. Menimang ponsel dan memainkannya di tangan, Miranda merasakan kecemasan mengingat sikap Erina siang tadi.

Ada sebersit rasa bersalah ketika mengingat betapa sibuknya dia akhir-akhir ini, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk di sempatkan bersama dengan sahabatnya. Menghela nafas kasar, Miranda merasa bersalah.

'Tok. Tok.'

Miranda menoleh ke samping kala mendengar suara pintunya di ketuk.

'Tok. Tok.'

Sekali lagi terdengar.

Miranda beringsut dan berdiri di samping ranjang. Berjalan menuju ke pintu dan membukanya. Seorang asisten rumah tangga berdiri di depannya.

"Maaf nona, nyonya Arini bertanya apakah makan malam nona di antar ke kamar atau bergabung di bawah bersama nyonya dan tuan?"

"Aku turun."

"Baik nona, permisi."

Miranda berjalan di belakang asisten rumah tangganya setelah menutup pintu. Mengikuti asistennya masuk ke dalam ruang makan. Leo dan Arini tersenyum melihat putrinya bergabung. Hendak menyapa kedua orang tuanya, Miranda urung melakukannya. Melihat Ben duduk bersama mereka di ruang makan, Miranda mengerutkan dahi.

Arini menegur sikap Miranda yang terlihat tak sopan. Bukannya menyapa, Miranda malah menatap Ben dengan pandangan penuh tanya.

Ben tertawa melihatnya. Melambaikan tangannya dan menggelengkan kepala, "sudah-sudah tidak apa-apa. Lagipula kami tadi siang sempat bertemu tadi. Jadi tidak apa-apa."

Arini menoleh ke arah Miranda dengan alis yang menaik, "oh ya? Kalian bertemu? Kenapa tidak cerita ke mama nak? Bertemu dimana?"

"Kami bertemu tak sengaja tadi di restoran langganan mama. Aku beli es krim tadi siang. Mama lupa?"

"Mama tidak lupa, tapi kamu tidak bilang kalau kamu dan Ben bertemu." Selidik Arini.

"Oh ya? Aku lupa berarti ma." Sahut pendek Miranda. Tangannya terulur mengambil satu nugget ayam kesukaannya.

"Sudah-sudah. Bukan hal yang penting juga. Mungkin Miranda memang benar-benar lupa kalau kami tadi tak sengaja bertemu."

Miranda menatap jengah pria setengah baya di depannya ini. Entah kenapa walaupun bibirnya penuh seringai, tapi Miranda merasa aneh dari seringai itu. Seolah ada yang pria itu sembunyikan.

Masih teringat di benaknya pertemuan keduanya yang tak sengaja terjadi siang tadi di dalam restoran. Ben menyapanya saat pria itu hendak pergi dari sana. Dengan selorohnya yang khas, Ben berusaha mengajak Miranda tertawa. Tapi karena saat itu Miranda sedang kacau dan bingung karena perubahan sikap Erina, sehingga gurau yang di lontarkan Ben seolah hanya angin lalu dan Miranda menimpalinya dengan kaku.

Ben terus mencoba bertanya mengenai kuliah dan kegiatan hariannya. Miranda merasa tak ada yang perlu ditutupi sehingga mengatakan bahwa dirinya saat ini sedang sangat sibuk mengurusi skripsinya yang hampir selesai.

Juga ketika Ben dengan gurauannya mengungkapkan keinginan terbesarnya untuk menjodohkan dirinya dengan Marco, Miranda tak mengindahkannya sama sekali dan hanya tersenyum sebagai balasannya.

Tak lama kemudian Ben pergi karena seorang temannya memanggil untuk segera pergi. Teman Ben, Miranda sepintas melihatnya. Tapi dari pandangan teman Ben itu, Miranda merasa takut. Pria itu, dengan gayanya yang aneh. Menatap Miranda dengan tatapan tajam seolah menguliti. Miranda merinding.

Forbidden Love (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang