"Hemm.. Iya ma. Aku di tempat om-maksudku, ayah Marcel sekarang. Iya... Aku baik-baik aja. Mama jangan khawatir ya... Semuanya baik-baik saja." Terang Miranda saat menghubungi ibunya lewat telepon rumah Bintang. Seperti yang diperintahkan padanya, menghubungi Arini menggunakan pesawat telepon kediaman Bintang.
"Yeah mom, sebentar-", Miranda menjauhkan pesawat telepon dari telinganya dan berbisik kepada Bintang,
"Mamaku ingin berbicara dengan anda."Bintang yang tengah duduk bersandar di salah satu sofa pun mengangkat kakinya yang bersilang di kaki yang lain dan beranjak dari tempatnya duduk. Mendekati Miranda dan mengulurkan tangannya.
Senyuman terlukis di wajah pria yang sudah tak muda lagi itu. Debar jantungnya bertalu saat berfikir akan mendengarkab suara merdu Arini. Suara yang dirindukannya.
"Halo Reyna... Senang mendengar suaramu. Ya, aku minta maaf. Tadi ada serangan kecil dari, kau tahu, sainganku untuk Marcel-"
"Kecil katamu? For godsake, Paman, bisakah aku mempercayakan keselamatan putraku padamu? Baru sehari mereka bertemu dan keselamatan putriku jadi taruhannya. Kemana pengawal-pengawalmu paman? Bukankah biasanya mereka berkeliaran di sekitar keluargamu? Apa yang mereka lakukan sehingga pengawasan untuk putraku berkurang dan menyebabkan putriku mengalami tembakan di bahunya?!" Pekikan Arini terdengar samar dari tempat Miranda duduk.
"Terserempet Reyna, hanya terserempet."
"Bagiku sama saja paman! Terserempet atau tertembak, sama-sama terkena peluru!" Kemarahan Arini tidak main-main. Dan Bintang senang mendengarnya. Baginya, kemarahan Arini hanyalah sebuah hiburan bagi jiwanya yang lapar.
Suara Arini pasti sangat keras sehingga Miranda yang duduk di depan Bintang pun mendengarnya. Sementara raut wajah Bintang mengatakan sebaliknya. Karena hanya senyuman yang tergambar disana. Senyuman yang membuat siapapun jatuh hati. Karena terlihat sangat menawan.
Miranda tercengang melihat kenyataan ini. Sebuah kenyataan bahwa ada pria lain yang mencintai ibunya sebesar itu. Hati kecilnya terasa pedih mengetahui informasi besar ini. Betapa beruntungnya sang ibu karena mendapatkan cinta yang besar dari dua pria tampan nan menawan. Sangat berbalik dengan kenyataan yang dirinya dapatkan.
"Semua terjadi begitu cepat Reyna. Sehingga para pengawalku terlambat menyadari serangan ini. Aku minta maaf." Jawab Bintang penuh ketenangan dan senyuman.
"Aku akan mengambil kembali putraku jika ternyata hidup bersamamu hanya bahaya yang ia dapatkan paman. Aku akan membawanya pulang ke Indonesia jika kau tidak bisa memberikan perlindungan yang utuh untuknya. Disini, bersamaku, putraku tak pernah mendapatkan ancaman seperti ketika bersamamu paman."
Bintang terus tersenyum sambil memasukkan satu tangannya ke dalam saku. Mendengarkan celotehan Arini seolah nyanyian merdu bagi telinganya dan merupakan santapan lezat bagi jiwanya yang sangat merindukan wanita itu. Miranda terpukau melihatnya. Melihat sikap Bintang yang terus tersenyum dan penuh ketenangan. Mengangguk-angguk beberapa kali seolah ibunya ada disini berada di hadapannya.
"Kau bisa menjemput putraku Reyna, aku akan memberimu kesempatan itu. Hanya saja... Aku tidak bisa berjanji, jika nantinya kau yang tidak bisa keluar dari sini. Kau tahu maksudku bukan... Reyna?"
"Ap-apa?! Sialan kau paman!"
Dan terdengar bunyi klek. Tanda Arini sudah mematikan panggilannya. Sementara Bintang terkekeh di tempatnya berdiri. Perlahan meletakkan pesawat telepon di tempatnya. Seketika Miranda berdiri melihat Bintang menyelesaikan pembicaraannya.
"Sekarang penuhi janji anda."
Kekehan Bintang pun terhenti seketika. Menoleh ke arah Miranda, Bintang menganggukkan kepalanya. Tanpa kata, Bintang memutar tubuhnya dan berjalan lurus ke arah pintu. Miranda mengikuti di belakangnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Love (2)
Romancecerita ini lanjutan dari story Forbidden Love yang berada di akun sebelumnya @Just_Arsha.