12:01

682 43 2
                                    

Jangan tinggalin aku lagi, Van.

👟👟👟


Tubuh gadis itu bergetar hebat. Satu demi satu anggota keluarga Devan sudah merapat. Hanya Sera yang peduli akan Alysa. Yang lain? Mereka tak mungkin akan sedekat itu. Jangan menanyakan Sabrina, wanita hamil itu tengah pingsan ketika mendengar kabar buruk dari Devan.

"Ma—maaf, Tante..." lirih Alysa dengan isak tangis dan tubuh gemetarnya.

"Ini bukan salah kamu, Sayang. Memang sudah jalannya seperti ini. Do'akan Devan yang terbaik, ya," ujar Sera yang tengah menenangkan Alysa.

Tak lama, Radit pun datang. Rafa, Rega, dan Mysha, mereka ikut datang ke rumah sakit. Mysha menatap nyalang gadis yang tengah Sera peluk.

"Maksud lo apa!? Semua ini gara-gara lo!" bentak Mysha kepada Alysa. Gadis itu menyeret paksa Alysa dari pelukan Sera.

"Lepasin gue!" berontak Alysa.

"Lo itu salah! Kalau aja lo nggak pernah dateng di kehidupan Devan. Devan nggak bakalan kaya gini. Baru pertama dia kaya gini. Asal lo tau, saat Devan sama gue nggak ada tuh acara sakit atau kecelakaan. Tapi, semenjak ada lo! Lo bikin Devan kaya gini!!" teriak Mysha dengan segala amarahnya.

"Cukup! Cukup lo bentak Alysa kaya gitu! Nggak punya hati tau, nggak!?" ujar Rafa yang sedari tadi hanya menyaksikan pertikaian keduanya.

Rafa, lelaki itu langsung menarik tangan Alysa keluar. Ia tahu betul, jika Alysa butuh ketenangan bukan seperti sekarang, penuh tekanan. Lelaki itu mengajak Alysa pergi ke taman rumah sakit. Ia sudah meminta Radit mengabarinya jika Devan sudah siuman.

Isak tangis Alysa semakin terdengar, ketika gadis itu duduk di salah satu kursi taman. Dadanya sesak ketika ia harus pura-pura tegar di dalam. Tatapannya menunduk, gadis itu tak kuasa mendongakkan kepalanya.

"Udah, jangan nangis lagi! Yang penting lo do'ain Devan terus biar cepet sembuh," ujar Rafa guna menghibur hati Alysa.

Tanpa Rafa sadari, Alysa malah memeluknya. Yang gadis itu pikirkan, ia hanya butuh sandaran kali ini. Ia butuh seseorang yang bisa mendengar keluh kesahnya.

"Ha—harusnya waktu itu gue nggak pernah ketemu Devan. Kalo aja ada mesin waktu, gue pengen kejadian tujuh tahun lalu nggak pernah terjadi. Gue terlalu bahaya buat Devan. Devan nggak pantes sama gue," rancau Alysa.

Rafa mulai tertarik. Mungkin saat inilah, Alysa mau berbagi rahasianya. Ia akan berusaha tegar walaupun itu terlalu sakit dan sesak.

"Kapan pertama kali lo kenal dia, Sa?" tanya Rafa sembari mengelus surai hitam Alysa.

"Tujuh tahun lalu di Semarang. Waktu itu gue mau ke toko ibu, tapi pas di jalan tiba-tiba hujan. Gue nggak bawa payung, terus waktu itu gue nggak sengaja jatuh dan pakaian gue basah." Alysa menarik senyumnya. Gadis itu menghela napas panjang untuk menjeda ucapannya.

"Waktu itu, Devan ada di depan galeri. Galeri yang mana gue jatuh di depannya. Saat itu Devan yang nolongin gue. Lucu banget, logatnya aneh." Alysa tertawa kecil.

"Dia sempet nawarin gue jaketnya buat gantiin baju gue yang basah. Awalnya, sih gue nggak mau, tapi dia maksa. Katanya kasian guenya kalo kedinginan. Lucu ya, Fa?" tanya Alysa kepada Rafa yang tersenyum getir.

"Karena dia maksa, akhirnya gue mau. Dan setelah itu gue sama dia jadi deket. Dia sering bangett bantuin gue sama ibu jualan. Dan lo tau nggak jaket jeans yang selalu gue bawa?" tanya Alysa antusias.

"Ke—kenapa?"

"Itu jaket Devan. Katanya nggak usah dibalikin," ujar Alysa sambil senyum-senyum sendiri.

Rentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang