PROLOG

4.8K 147 31
                                    

Devan Raka Abimanyu.


Pict Aksa Rafiq Wisesa (@aksar_W)

👟👟👟

Semarang, 18 Agustus 2017

Saat di mana Devan masih menjadi mahasiswa seni rupa di salah satu universitas di Semarang. Lelaki itu tahu betul, sekarang di luar masih hujan lebat. Dirinya memilih untuk tetap tinggal di depan sebuah gallery yang baru ia kunjungi.

"Sabrina mana, sih! Katanya mau jemput gue! Emang lelet," ledeknya pada adiknya itu.

Lelaki itu terus mengusap bahunya yang kedinginan. Padahal, lelaki itu sudah membawa jaket yang membantunya menghangatkan badan.

"Ehh! Awas!" serunya pada gadis yang baru saja melewatinya. Tampak gadis itu terkena cipratan air yang menggenang di tepi jalan. Basah sudah baju gadis itu.

"Kamu nggak papa?" tanya Devan yang nekat menerobos hujan dan menarik gadis itu untuk berteduh.

"Makasih, Mas," ujar gadis itu sopan.

"Iya. Mbak, nggak kenapa-kenapa, 'kan?" tanya Devan memastikan.

"Nggak, sih, Mas. Cuma, ya, gini," balas gadis itu dengan menunjukkan pakaiannya.

Dengan segera Devan melepas jaket miliknya. Lelaki itu meminta gadis di depannya untuk mengganti baju.

"Baju Mbak basah dan kotor. Lebih baik pakai ini saja. Tadi di sana saya lihat toilet. Mbak pake aja jaket saya," tawar Devan.

"Eh? Nggak perlu, Mas. Nanti malah ngerepotin. Ini saya juga mau buru-buru pergi, kok. Takut nanti nggak bisa ngembaliin," ujar gadis itu.

"Nggak papa, Mbak. Daripada Mbak sakit."

Dengan ragu, gadis itu menerima jaket milik Devan. Hanya seulas senyum yang bisa gadis itu berikan pada Devan.

"Saya Lisa, Mas. Makasih, ya, Mas. Nanti saya kembalikan," ujar gadis itu.

"Nggak juga nggak papa, kok, Mbak," balasnya.

"Eh? Jangan! Kapan-kapan saya kembalikan, kok. Lagipula, ini jaket mahal. Saya nggak enak kalo nggak ngembaliin," ujar Lisa.

"Sekali lagi, makasih, Mas," ujar Lisa. Devan mengangguk.

"Iya," ucap Devan sebelum meninggalkan tempat itu. Namun, langkahnya dicegah oleh Lisa.

"Eh? Mas namanya siapa? Kuliah dimana? Biar saya bisa mengembalikan jaket milik, Mas."

"Devan. Saya kasih nomor ponsel saya aja, Mbak," ucap Devan dengan memberi saran.

"Oh, boleh."

Devan mengambil ponsel milik gadis itu. Lalu, dirinya mengetikkan nomor ponselnya di handphone milik Lisa.

"Udah, Mbak."

"Iya, makasih, Mas."

*

Semarang, 17 Agustus 2018

Lisa nampak senang, ketika masih dipertemukan dengan Devan. Bahkan, lelaki itu yang selama ini menjadi temannya. Lelaki yang selalu membantunya berjualan kue kering. Dan laki-laki yang menolak untuk dikembalikan jaketnya.

"Van?" panggil Lisa sembari menoleh ke arah Devan.

"Kenapa?" tanya Devan tanpa mengalihkan pandangannya ke wajah senja.

"Makasih."

"Untuk apa?" Devan menoleh ke arah Lisa.

"Udah bantuin aku selama ini. Maaf, ya, kamu harus capek-capek jualan bantuin aku. Maaf juga sampai kamu dimarahin orangtua kamu gara-gara aku," lirih Lisa sembari memandangi gerak kakinya.

"Bukan apa-apa, Lis. Lagian itu murni salah aku dan adik aku yang ceroboh." Seulas senyum terpancar di wajah Devan.

"By the way, aku penasaran sama wajah adik kamu."

"Besok aja, deh! Sekalian anaknya aku ajak juga," ujar Devan.

"Boleh."

Keduanya kembali fokus pada wajah senja yang menyajikan semburat warna jingga dan violet yang berbaur menjadi satu.

👟

Semarang, 18 Agustus 2018

"Apa? Aku pindah kuliah? Pa, jangan mulai, deh!" protes Devan.

"Papa nggak bercanda, Van. Papa bakal ijinin kamu jadi seniman kalo kamu mau kuliah di Perancis," tutur Rudi yang tak mau kalah.

"Tapi—"

"Tapi apa? Mau jualan kue atau kuliah kamu kalo di sini?! Pokoknya besok kamu harus flight! Papa udah beliin tiket buat kamu. Soal Sabrina, Papa udah pindahin dia di universitas di Bandung," jelas Rudi yang tak sanggup Devan bantah.

Devan mengusap wajahnya gusar. Ia frustasi. Ia sangat berat meninggalkan tanah ini. Ia mulai mencintai Lisa.

"Abang?" lirih Sabrina yang sedari tadi mengintip di balik rak buku.

"Sabrina? Ngapain kamu di sini?" Devan terkejut dengan kedatangan Sabrina.

Gadis kecil itu memeluk Devan. Walau bagaimanapun, ini juga salahnya.

"Maafin aku."

"Bukan salah kamu, Sa. Tuhan punya porsi untuk umat-Nya masing-masing," ujar Devan setenang mungkin.

"Aku percaya kita akan bertemu lagi, Lis," batin Devan sembari mengelus rambut Sabrina yang menangis di dadanya.

👟👟👟

Rentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang