21:00

596 38 6
                                    

Hidup tanpa coretan seni, terlalu hambar untuk dijalani,

👟👟👟

Luka itu seakan membekas. Awalnya yang memiliki ekspetasi yang bahagia malah berealita menderita. Mungkin bukan jodoh untuk Devan. Lelaki itu bisa apa selain menerima kenyataan.

"Lo yakin mau pulang sekarang? Kita baru aja sampai loh, Van!" protes Radit dengan hati-hati. Lelaki itu merasa tak enak jika harus memecat pembantu yang baru saja diangkatnya. Apalagi dengan bahan makanan yang penuh di lemari pendingin itu.

"Nggak guna gue di sini. Gue mau balik ke galeri aja," ujar Devan sembari mengemasi pakaian yang sempat dikeluarkannya tadi.

"Galeri? Perusahaan lo?" tanya Radit heran.

"Nggak peduli, gue masih marah sama Papa," ujar Devan. Lagi-lagi Radit menghela napasnya. Ia tak pernah tahu jalan pikiran Devan yang masih kekanak-kanakan ini. Pantas jika Alysa meninggalkannya dan memilih Rega yang bersikap lebih dewasa.

"Lo nggak bisa gitu! Jangan karena masalah ini, lo jadi bersikap kaya gini. Kalo lo nggak ngurus perusahaan, siapa yang bakal ngurus? Nggak mungkin Bang Daffin lagi, 'kan?" Radit memberi nasihat. Lelaki itu sudah kesal dengan tingkah Devan yang tak pernah berubah setiap tahunnya.

Devan menutup kopernya kesal. Lelaki itu mendecak pelan seakan ia punya luapan emosi yang tak pernah tersampaikan.

"Gue capek, Dit! Gue capek kalo harus kaya gini terus," ujar Devan dengan keluh kesahnya.

"Hidup gue terlalu sering dikekang. Gue merasa nggak pernah diadili sama kedua orang tua gue, apalagi Papa. Seakan gue itu anak tiri bagi Papa. Gue nggak minta banyak, gue cuma mau dua hal. Cuma seni dan Alysa." Devan menghela napasnya sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Alysa itu kayak seni di hidup gue, Dit. Kalo nggak ada dia di hidup gue, hidup gue monoton dan hambar. Sama kayak hidup tanpa coretan seni, pasti rasanya hambar dan monoton. Alysa itu seni bagi gue," ujar Devan dengan nada pilunya.

"Gue paham, Van. Gue cuma mau ngasih tahu lo sesuatu. Nggak susah, kok. Lo harus tahu, hidup itu nggak salah untuk dijalani. Kalo prinsip lo Alysa adalah seni, maka ubah mulai sekarang. Cari seni yang lain, seni yang bikin hidup lo kembali sama seperti disaat lo kenal Alysa. Gue percaya lo mampu untuk melukiskan hal baru di kanvas yang baru pula." Radit menepuk bahu Devan. Lelaki itu seakan memberi semangat untuk sahabatnya ini.

👟

Menatap taman dengan sekaleng minuman bersoda di tangannya, tak membuat lelaki yang sudah berdiri lama itu hengkang. Lelaki itu tetap berada di balkon kamarnya. Lukisan yang masih basah di sampingnya menuangkan segala kerinduannya.

"Abang!" pekik seorang wanita dari arah pintu kamarnya. Wanita itu langsung menubruk tubuh tak siap Devan.

"Kata Mama Abang ke Surabaya, kok ini masih di sini aja?" tanya Sabrina yang rindu kepada kakak keduanya ini.

Wanita itu sudah tak bertemu Devan sejak dua bulan lalu. Sabrina sangat histeris mendengar kabar komanya Devan, sehingga Akhtar mengajak keluarganya pulang ke Bandung, ke rumah orangtua Akhtar.

"Udah pulang," jawab Devan dengan nada setegar mungkin. Mendengar perkataan Devan, Sabrina langsung mengurai pelukannya.

"Kenapa? Terus kak Alysa mana? Katanya mau ketemu, kok ini buru-buru pulang," cerocos wanita itu.

Rentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang