6x5+4

574 35 8
                                    

Sandaran ternyaman untuk Bulan hanyalah Bumi,

👟👟👟


Alysa menangis sepanjang malam. Mata yang sembab untuk keesokan harinya tak dibuatnya masalah. Alysa hanya ingin segala emosinya bisa terselesaikan.

"A—aku nggak kuat untuk menahan sakit sesakit ini, Van. Jujur aku nggak akan kuat, tapi di sisi lain aku nggak mau bikin kamu lebih sakit dari ini. Itu lebih menyakitkan, Van, hiks," gumam gadis itu sembari menenggelamkan wajahnya di sela lipatan kedua lututnya.

Semua sumpah serapah, keluh kesah, dan rasa bersalah ia tuangkan malam ini. Gadis itu berharap keesokan harinya ia bisa lupa segalanya. Tentunya melupakan perasaannya kepada Devan.

**

Dela memasuki rumahnya. Wanita itu langsung ditanyai oleh sang Ibu yang khawatir mendengar suara tangis dari putri pertamanya.

'Kakakmu kenapa? Apa Rega menyakitinya lagi?' Begitulah tulisan di kertas itu. Dela langsung menggeleng.

"Nggak, Bu. Mereka, kak Rega dan keluarganya sudah dipenjara. Mungkin kak Alysa menangis karena perasaannya yang tertahan ke kak Devan," jelasnya.

'Siapa yang melaporkan mereka ke polisi? Apa itu Devan?' Soraya menyerahkan kertas itu. Kali ini Dela mengangguk.

"Kak Devan baik banget, ya, Bu," ucap Dela pada ibunya yang langsung diangguki oleh Soraya.

'Terus kenapa kamu pulangnya telat?'

"Dela ada perlu sebentar tadi, makanya pulangnya nggak bareng sama kak Alysa." Dela berbohong kepada Soraya.

'Yaudah, sekarang kamu istirahat, ya? Jaga kandungan kamu, meskipun kamu nggak pernah menginginkannya.'

Dela tersenyum, lalu mengangguk.

👟

Devan selalu terngiang oleh ucapan Dela semalam. Bahkan, lelaki itu sudah tak bisa fokus pada meeting pagi ini. Lelaki itu seakan dihantui oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Ia tak dapat membohongi perasaannya.

"Kenapa nggak fokus gitu, sih, Van? Nggak biasanya Papa lihat kamu kaya gini," ujar pria paruh baya yang tengah menyantap makanan di depannya itu.

"Nggak, kok, Pa. Devan lagi kepikiran sesuatu aja," ujar Devan yang langsung memakan makan siangnya dengan cepat. Lelaki itu mempunyai rencana untuk bertemu Alysa hari ini.

"Kamu kepikiran sama Alysa, ya? Van, Papa udah bilang sama kamu kalo Papa nggak maksa siapa yang akan menjadi pilihanmu kelak. Papa nggak masalah kalo kamu sama Alysa," ujar Rudi. Senyum Devan langsung mengembang sempurna.

"Serius, Pa? Yaudah, Devan pergi dulu, Pa. Devan ada urusan di luar. Devan izin, Pa," ujar lelaki itu kegirangan sambil mencium tangan Rudi sebelum meninggalkan meja itu.

**

Alysa meringis, ketika ia tak memiliki tempat bekerja lagi. Apalagi kantor yang ia tempati adalah kantor milik keluarga Mahendra dan tentunya kantor ini sudah diambil alih oleh Abimanyu corp. Alysa tak memiliki pilihan lain selain harus pulang ke Semarang lagi. Toh, mencari pekerjaan di Jakarta tak akan mudah.

Rentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang