16:00

594 46 9
                                    

Surat perintah Papa,

👟👟👟

Hubungan itu ibarat telur di ujung tanduk, bila salah mengambil langkah bisa retak dan pecah. Pikiran Devan terasa berat. Lebih dari limapuluh panggilan tak ada yang dijawab oleh Alysa. Lelaki itu berusaha memendam amarahnya. Entah dengan apapun yang akan dilempar, dipukul, dan dihancurkannya.

Lelaki itu merasa tak betah. Ia mengambil kunci motornya, lalu meninggalkan rumah begitu saja.

"DEVAN! MAU KEMANA KAMU?!" teriak Rudi yang melihat sekilas mata putranya yang sudah dipenuhi amarah.

Namun, jika dirinya mengejar tak ada gunanya. Ia cepat meminta Daffin untuk mengikuti Devan. Perasaan seorang ayah itu cemas.

"Shit!" umpat Daffin setelah mendengar motor yang keluar dari pekarangan melaju dengan cepat.

"Ada apa, Pa?" tanya Sera yang ikut cemas.

"Devan keluar, Ma. Tapi, Papa nggak tahu dia mau kemana, anak itu nggak bilang sama Papa," jelas Rudi. Yang bisa Sera lakukan hanyalah rapalan do'a yang berharap putranya baik-baik saja.

Sementara itu, Devan sudah berada di club langganannya. Lelaki itu langsung menuju ke meja barterder.

"Kaya biasa, Jer! Tapi, kali ini gue mau empat botol sekaligus," tegas lelaki yang telah tersulut amarah itu.

"Ha! Lo yakin? Tiga botol aja lo mabuk," sangkal Jerry.

"Nggak peduli! Mau dipecat?" ancam Devan lagi. Lagi-lagi Jerry harus mengiyakan permintaan Devan lagi. Jangan memikirkan Daffin, lelaki itu tengah terjebak macet sekarang.

Baru dua botol, tapi lelaki itu sudah menyandarkan kepalanya di atas meja berbantal tangan kirinya. Sedangkan, tangan kanannya sibuk memegangi botol itu.

"Dua kali lo bikin gue kaya gini, Al. Gue salah apa sama lo? Gue cuma mau minta maaf karena tadi gue sempet bentak lo. Gue nggak maksud, gue cuma nggak suka sama pertanyaan lo," rancau Devan. Lelaki itu ingin sekali menangis.

Habis tiga botol, lelaki itu tak sadarkan diri. Untung saja Daffin datang tepat waktu sebelum Devan digiring oleh wanita jalang di club ini.

"Thanks, Jer. Ini uangnya. Gue permisi," pamit Daffin yang juga mengenal baik bartender itu.

"Hati-hati, Fin!" seru Jerry.

Daffin membopong tubuh berat Devan. Adiknya ini adalah adik yang tak tahu diri yang pernah ia kenal. Tak pernah Devan tak menyusahkannya.

"Makan tuh dosa!" gerutu Daffin sembari mendorong tubuh Devan masuk ke mobil.

Ia mengambil ponselnya, lalu mengetikkan pesan kepada sang ayah. Ia tak mungkin membawa Devan pulang dengan keadaan seperti ini. Ia berkata bahwa ia dan Devan akan pulang ke apartemennya karena Devan ingin sendiri dan butuh teman curhat. Setelah mendapat izin, Daffin langsung meluncur ke apartemen miliknya.

👟

Mata yang terlelap itu menangkap cahaya yang sangat terang. Tidurnya terusik. Ingin rasanya marah, apalagi dengan keadaan kepalanya yang sangat pusing.

"Lima menit lagi, Ma," rancau Devan yang belum sadar.

"Mama pala lo! Bangun! Nyusahin mulu lo!" ketus Daffin.

"Eh, Bang Daffin? Bentar lagi, deh!" pinta Devan seakan tak merasa bersalah.

"Bangun sekarang atau gue guyur pake air?!" ancam Daffin lagi. Devan mendecak. Lelaki itu bangun, lalu merasakan mual.

Rentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang