(√3)²

1.3K 75 3
                                    

Ingatan masa lalu.

Pict Rafadhan Resa Wicaksana (@rafadhan)

👟👟👟

Devan, lelaki itu berulah lagi. Lelaki dengan keadaan bimbang disetiap pilihannya. Lelaki itu memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya lagi dan ditatapnya langit malam dari balkon kamarnya.

"Apa iya gue nerima penawaran papa? Tapi, gue masih sayang sama kota ini. Arghh!" keluhnya pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan seorang gadis cantik yang tengah membawa nampan berisikan segelas susu. Sabrina langsung meletakkannya di atas nakas.

"Diminum, ya, Bang! Biar pikiran Abang bisa lebih tenang," ujar Sabrina.

Devan hanya mengangguk.

"Kalo butuh apa-apa, Sabrina ada di kamar," ucap gadis itu sebelum meninggalkan kamar Devan. Ia tahu betul jika Sabrina merasa sangat bersalah padanya. Mungkin dari percakapan Sabrina yang terlalu canggung kepada Devan.

Devan menghela napasnya panjang. Lelaki itu berjalan menghampiri ranjangnya. Didudukkannya bokong miliknya di pinggir ranjang.

"Mungkin ini pilihan paling tepat," gumam Devan. Lelaki itu langsung meraih smartphone miliknya, lalu mengetikkan sesuatu pada kontak Lisa.

Devan
Lis,

Lisa
Iya, Van. Kenapa?

Devan
Maaf. Aku pecundang.

Lisa
Ha? Maksudnya? Van! P.
P.
P.

Devan langsung mematikan smartphone miliknya. Ia memilih untuk memejamkan matanya untuk hari esok.

Lamunan Devan buyar, tatkala Aksa yang terus menangisinya. Pandangan Devan langsung menuju ke manik mata Aksa yang berada di pangkuannya.

"Kenapa? Aksa mau apa?" tanya Devan.

"Om jangan diem telus! Kata bunda, cowok nggak boleh nangis, Om, hiks," tangis Aksa.

Devan terkekeh, ia merasa keponakannya ini sangat lucu.

"Aksa lucu, deh! Masa cuma Om yang nggak boleh nangis. 'Kan, Aksa juga cowok, masa ikut nangis, sih!" ujar Devan yang membuat Aksa mengerucutkan bibirnya.

"Bialin! Asa masih kecil, wlee," sangkal lelaki kecil itu. Hal itu membuat tawa Devan dan Radit pecah.

Sesampainya di rumah milik Akhtar, lelaki itu disambut hangat oleh sang pemilik rumah yang ternyata sudah pulang dari rumah sakit.

"Eh, anak Bunda udah pulang! Kok telat?" tanya Sabrina yang langsung menatap Devan.

"Maaf, tadi gue sibuk banget di galeri. Jadi jemput Aksa telat," jelas Devan. Sabrina hanya mengangguk.

"Makasih, ya, Bang, Kak!" ujar Sabrina pada kedua lelaki itu.

"Bunda," rengek Aksa dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Kenapa, Sayang? Kok nangis?"

"Tadi, ibu gulu jahatin Om Devan. Tadi pipi Om Devan dipukul, hiks," adu Aksa.

"Bener, Bang?"

Devan hanya tersenyum, "Udah nggak usah dipikirin. Nggak kenapa-kenapa, kok," jelas Devan.

Rentang Waktu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang