"Dulu, kita pernah punya rumah,"
👟👟👟
Sebulan sudah mereka saling kenal. Sebulan sudah bagi Devan untuk merasakan bagaimana sulitnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Alysa, gadis itu mengajarkan banyak hal kepada Devan akan arti sebuah hidup yang sebenarnya.
Canda dan tawa menghiasi wajah mereka. Devan, lelaki itu lebih memilih untuk makan siang di taman universitas dibandingkan di kantin. Ia hanya tak ingin Alysa merasa tak nyaman.
"Lis, nanti aku bantuin kamu jualan lagi, ya?" tawarnya. Gadis itu mengangguk.
"Emang kamu nggak capek? Udah sebulan loh kamu bantuin aku kaya gini," ucap Alysa.
"Biasa aja! Malahan aku senang karena kamu itu udah bikin hidup aku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku udah ada sudut pandang baru untuk menatap dunia ini, Sa." Manik mata Devan menatap fokus mata indah milik Alysa. Bahkan, gadis itu sampai tersipu malu ditatapnya.
Raut wajah Devan kini mulai serius. Lelaki itu yang awalnya menatap ke arah lain, kini sudah menatap gadis di depannya.
"Lis?" panggilnya. Gadis itu hanya menjawab dengan deheman.
"Aku suka kamu," ujar Devan yang membuat Alysa tersedak. Gadis itu sama sekali tak ada pikiran jika Devan akan menyatakan cintanya seperti ini.
"Kamu kaya rumah bagi aku. Kamu tempat aku kembali dan selamanya akan seperti itu. Aku nggak akan pernah bisa lupa, bahkan sedetik pun aku nggak akan mampu. Aku suka, aku cinta sama kamu, Lis," ujar Devan dengan tangannya yang sudah menggenggam kuat tangan Alysa.
"Aku harus jawab apa?" Pertanyaan bodoh yang tak sengaja Alysa utarakan. Devan tersenyum mendengar hal itu.
"Terserah kamu, tapi aku suka kamu jawab 'ya'," ujar Devan lagi. Hal ini membuat Alysa tersenyum, lalu mengangguk.
"Jadi? Mau?" tanya Devan guna meyakinkan. Alysa mengangguk kembali.
👟
Pasar malam adalah tempat pertama bagi mereka memulai hubungan. Devan menggenggam erat tangan Alysa. Lelaki itu seperti anak TK yang baru mendapatkan sahabat.
"Devan! Lepasin, ih! Aku malu," protes Alysa. Gadis itu merasa menjadi pusat perhatian orang-orang di pasar malam kali ini.
"Nggak apa-apa. Kita naik bianglala, yuk!" ajak Devan sambil menarik tangan gadis itu.
"Nanti aja, Van. Kamu nggak lihat antreannya panjang gitu?"
"Eh? Iya. Yaudah, kita main itu aja. Kayaknya seru, nanti kalau aku berhasil jatuhin semua kalengnya kamu bebas milih hadiah," ujar Devan. Alysa mengangguk setuju.
Devan membeli tiket permainannya. Lelaki itu memegang bola di tangannya. Alysa sedikit tersenyum ketika Devan membidik dengan banyak gaya.
"Kamu ngapain, sih, Van?"
"Diem aja, deh. Aku lagi konsentrasi," ujar Devan yang semakin membuat Alysa tertawa.
Meskipun Devan membidik dengan banyak gaya, tetapi lelaki itu berhasil menjatuhkan semua kaleng-kaleng itu dengan satu lemparan. Alysa dibuatnya takjub.
"Pilih sana hadiahnya!" suruhnya dengan nada yang sombong.
"Dih, sombong!"
Alysa memilih boneka beruang untuknya. Devan menyudahi permainannya karena wahana yang ia tunggu sudah tidak memiliki antrean.
"Lis, ayo ke sana!" ajak Devan sambil menarik tangan Alysa.
Kedua insan itu langsung menaiki wahana yang mereka tunggu. Mereka memilih duduk berhadapan agar lebih nyaman. Alysa dengan memeluk Mochi—boneka beruangnya dan Devan yang selalu menatap Alysa.
Menit-menit itu mereka lalui dengan canda tawa. Namun, ada saat di mana wahana itu berhenti mendadak. Alysa langsung berteriak kencang dibarengi dengan orang lain yang juga naik wahana tersebut. Apalagi keduanya berada di puncak wahana itu.
"Lis, kamu tenang, ya! Ini cuma sebentar. Pasti abangnya bisa perbaikin lagi," ujar Devan guna menenangkan Alysa.
"Aku nggak bisa tenang!"
"Apanya, sih yang nggak bisa? Bukannya di atas sini lebih indah. Coba lihat ke utara, itu universitas kita. Kamu tahu nggak yang ada cahaya merah itu gedung apa?" tanya Devan guna mengurangi rasa takut gadisnya.
"Nggak tahu."
"Itu atap gedung fakultas seni. Itu akan jadi rumah kita. Tempat kita untuk saling bertemu nanti. Baik kamu mau ketemu aku atau sebaliknya," ujar Devan.
"Cantik dari sini," ujar Alysa kagum.
Seiring hilangnya rasa takut Alysa, wahana ini berjalan kembali. Alysa bersorak senang karena setelah ini ia bisa turun. Jujur, ia takut karena ini pertama kalinya ia naik wahana yang satu ini.
👟
Devan menggenggam tangan Alysa sampai mereka di depan rumah gadis itu. Devan begitu senang malam ini bisa memulai kencan pertamanya.
"Aku sayang kamu," ujar Devan yang cukup mengejutkan Alysa. Tentu saja membuat pipi gadis itu merona.
"Aku juga," balas Alysa dengan malu-malu.
"Kamu langsung istirahat, ya. Jangan begadang, nanti sakit," ucap Devan yang dijawab anggukan oleh Alysa.
"Kamu juga," balas gadis itu.
"Aku pulang," pamit Devan.
"Hati-hati," ucap Alysa sebelum Devan memasuki mobilnya. Gadis itu sempat tersenyum melihat punggung lelaki itu menjauh. Ia tak tahu lagi ingin mengekspresikan dirinya yang bagaimana. Ia bahagia, sangat bahagia.
Sementara itu, Devan dibuat tersenyum sampai di dalam kamarnya. Bahkan, lelaki itu sempat malu karena ketahuan oleh Sabrina. Ingin rasanya Devan memakan adiknya yang suka menggoda itu.
"Kakak punya pacar, ya? Kasih tahu namanya dong!" paksa Sabrina.
"Dih, kayak kamu nggak pernah jatuh cinta aja. Udah sana keluar! Jangan ganggu, deh!" usirnya.
"Dih, pake ngusir segala lagi. Yaudah, aku keluar, deh. Takut dimakan sama drakula yang lagi kasmaran," godanya sebelum meninggalkan kamar itu.
"Anjir!" umpatnya karena tak rela disebut drakula.
Lepas dari hal itu, mungkin Devan malam ini akan susah tidur. Kepalanya hanya ada Alysa seorang.
👟👟👟
KAMU SEDANG MEMBACA
Rentang Waktu [END]
Romantizm[ABIMANYU'S SERIES BOOK II] -Rentang Waktu- Mengisahkan tentang penyesalan seorang Devan selama 7 tahun lamanya karena memiliki keterikatan janji bodoh dengan Ayahnya. Lelaki pengecut yang mencampakkan gadis 7 tahun tercintanya hanya karena mimpi me...