Tahun Kedua

2.1K 38 13
                                    

Ini merupakan tahun kedua bagi Elisha ikut dalam organisasi kampus yang bergerak dalam bidang jurnalistik. Atau biasa disebut pers kampus. Selama hampir setahun lalu ia menjadi seorang reporter dengan deadline artikel liputan yang selalu mengejarnya. Belum lagi tugas kuliah yang menyita seluruh perhatian mental dan fisiknya.

Harus diakui, ia suka di dunianya yang sekarang. Setelah sebelumnya ia tak bisa menularkan hobinya melalang buana ke mana-mana. Ia selalu jadi anak yang harus stay di rumah. Kalau pun pergi, dia harus memberikan alasan yang lengkap kepada ayah dan ibunya.

Setelah dulu menyakinkan ayahnya dengan pendaftaran kampus jalur prestasi dan mendapatkan beasiswa, ia diijinkan untuk kuliah di luar kota. Cukup jauh dari kampung halamannya. Hingga menjadikan kos-kampus adalah siklus kesehariannya.

Balas dendam atas masa SMA-nya, ia lakukan di masa kuliah ini. Ia mencoba terus menjelalah sejauh mungkin, memupuk pengalaman sebanyak mungkin, terus belajar dan belajar. Namun, ternyata ada yang  salah dari itu semua. Ia kehilangan teman-temannya.

"El, kenapa wajah lu murung banget? Ini kita lagi di pantai, ketemu fajar dengan pemandangan indah begini, lu masih aja murung. Why?"

Itu kalimat Triyas kepada El yang sedari tadi hanya duduk di batang pohon kelapa yang sudah ambruk di bibir pantai. Sesekali El mengayunkan kedua kakinya yang mengenai permukaan air. Triyas yang sedari tadi sibuk mengambil foto apapun yang menurutnya bagus di sekelilingnya, memilih berhenti kemudian ikut duduk di samping El.

"Nggak ada yang baik-baik aja saat kehilangan," kata El diakhiri hembusan napas dengan kasar.

"Oh, sertijab itu."

Tepat hari ini, organisasi yang diikuti oleh El sedang melaksanakan Sertijab atau Serah Terima Jabatan. Dari mereka yang sudah dua tahun kepengurusan akan purna dan menyerahkan tugasnya kepada pengurus selanjutnya. Yaitu kepada angkatannya dan pengurus baru yang dua bulan lalu telah dilantik menjadi kru. Sedangkan ia memutuskan untuk tidak mengikuti acara tersebut karena sudah membuat janji terlebih dahulu dengan teman forum diskusinya sendiri.

Seharusnya itu jadi momen yang membahagiakan. El mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dan akan sedikit mengurangi tugas menulis artikelnya. Namun, ia akan kehilangan interaksi rutin dengan kru yang sebelumnya. Ia harus belajar interaksi kembali dengan para kru baru. Ia sadar, ia bukan manusia yang mudah bersosialisasi. Lebih dari itu, ia malah takut dengan manusia baru.

"Gue juga kehilangan seseorang." El masih enggan menatap teman dekatnya itu. Ia membuang muka ke arah laut lepas.

"Who?"

"Gue baru aja putus."

Kemudian setetes air mata itu tiba-tiba jadi sesenggukan. Hingga beradu dengan suara deburan ombak yang sedari pagi menyapa mereka. Triyas mendekap temannya, mengusap punggungnya perlahan. Ia sadar, ketakutan yang selama ini melingkupi Elisha, sekarang telah terjadi. Ia takkan membiarkan sahabatnya itu sendirian lagi. Walaupun begitu, ia memilih diam sampai nanti El mau menceritakannya sendiri. 

Menurut Triyas, ketakutan akan kehilangan seseorang dalam hidup kita itu wajar. Yang penting kita tahu bagaimama cara menghadapinya. Sayangnya, El bukan orang yang mudah menghadapi kehilangan. Ia tak pernah ingin kehilangan. Apapun itu. Bahkan barang-barang  kesayangannya akan dijaga sebaik mungkin, agar tidak hilang. El pernah marah banget ketika botol minum kesayangannya tak terlihat batang hidungnya di tempat terakhir ia meletakkannya. El bisa membuat semua orang takut kepadanya atas kemarahannya. Ketika sekarang, Triyas melihat El mengatakan bahwa ia telah kehilangan seseorang, Triyas jadi khawatir. Kemungkinan-kemungkinan buruk bisa saja  terjadi.

"El, lu pagi ini dapet jatah masak, kan?"

Tiba-tiba suara cempreng Kania merusak suasana. El menghapus sisa air matanya. Ia tak banyak menangis, ia hanya sedih. Sedih sesedih-sedihnya. Hatinya seperti dipaksa dibuka kemudian dibiarkan ternganga. Ia bingung harus mengapakan hatinya.

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang