Hawa tenang El temui saat sampai di depan pintu apartemen Kansa. El teringat, terakhir kali ia menginjakkan kaki ke apartemen ini yaitu saat ia dan Kansa menghabiskan malam anniversary ke 6 hubungannya. Merebus mie, lalu maraton film. Lebih nyatanya, mereka ngobrol tanpa memperhatikan sampai mana filmnya terputar, hingga tak terasa sudah tengah malam. Kenangan indah ternyata masih berdiam di ingatannya.
El mengetuk pintu apartemen Kansa. Menunggu sahutan dari dalam. Namun, sepi. Ia sudah beberapa kali mengetuk pintu tapi tak kunjung ada balasan. Karena rasa khawatirnya, El nekat. Dulu, saat pertama kali El ke sini, Kansa langsung memberinya password apartemen, dengan tujuan kalau ada apa-apa El bisa langsung membukannya. Kali ini El akan menggunakan kesempatan itu untuk mengecek keadaan Kansa.
"Ngapain lu ke sini?" Suara bernada dingin dari Kansa menyapa El setelah ia menutup pintu.
El menemukan Kansa sedang terduduk lemah di sofa ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang TV. Satu memar biru ia temukan di bawah mata sebelah kiri Kansa. Sama persis yang ia lihat tadi di video. Bedanya, memarnya makin ungu.
"Udah tahu hidup sendirian di apartemen. Masih aja suka ngelukai diri sendiri," kata El sambil berjalan ke arah dapur. Ia mengabaikan Kansa yang terus menatapnya dengan tatapan selidik.
Kansa memang memilih tinggal di apartemen selama menempuh pendidikan di bangku kuliah ini. Orang tuanya sering berpindah tempat untuk urusan bisnis. Sebenarnya ia bisa saja meminta orang tuanya untuk membelikan rumah yang dekat dengan kampus, tapi Kansa lebih memilih apartemen untuk dijadikan sebagai rumahnya. Ah... bagi Kansa itu mudah. Lahir dari keluarga berada membuat semua kebutuhan dan keinginan Kansa terlampau mudah untuk dipenuhi.
El membuka kulkas, berharap ia akan menemukan es batu yang bisa ia gunakan untuk mengompres. Namun, kosong ternyata. Ia terpaksa menggunakan air dispenser untuk mengompres lebam.
"Auw," Kansa mengerang pelan akibat lebamnya bertemu handuk dingin dari El.
"Makanya, nggak usah sok berantem. Ngapain juga ada acara berantem segala. Udah gedhe, diomongin baik-baik kan bisa. Semua pasti ada solusinya." El mengatakannya sambil terus mengompres lebam di wajah Kansa.
Sepasang mata dingin Kansa menelisik raut muka El. Membuat El menatapnya balik dengan tatapan menantang.
"Kenapa liat-liat? Kalau sakit bilang, nggak usah sok kuat. Lu manusia, bukan makhluk jadi-jadian," kata El sewot.
Kansa kemudian membuang muka ke arah TV yang gelap.
"Kenapa kulkas nggak ada isinya? Telur cuma satu. Sayuran udah lemes banget kayak lu."
"Males ngisi." Akhirnya Kansa bersuara lagi. "Nggak ada yang masak lagi."
El menghentikan gerakan tangannya. Perkataan Kansa membuat El teringat dengan kegiatan rutin setiap hari jumat di apartemen Kansa. Dulu. Ia akan membawa beberapa makanan ringan dan beberapa sayuran dan makanan kering untuk mengisi persediaan dapur Kansa. Lalu ia akan menghabiskan jumat sore dengan memasak untuk Kansa.
El beranjak dari duduknya. Ia tak boleh bernostalgia lebih jauh dan lebih lama lagi.
"Itu di meja udah gue siapin makan malam. Cuma menu ayam biasa. Nanti dimakan. Habis itu istirahat," kata El setelah kembali dari arah belakang.
"Oh iya, besok minta maaf sama kru tingkat bawah. Kalau bisa sama semua kru. Itu tindakan yang sangat nggak banget, Sa. Lu sebagai salah satu pimpinan pilar nggak bisa kayak gitu. Semua hal bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Nggak perlu dengan kekerasan. Jelasin baik-baik. Gue yakin, lu punya 1001 alasan kenapa mereka bisa berpikir seperti itu. Gue juga yakin, semua yang kita lakukan itu niatnya baik. Hanya saja caranya yang beda."
![](https://img.wattpad.com/cover/210242221-288-k761467.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ELKANSA [END]
Fiksi Remaja[Romance-Teen Fiction] 15+ How Can I Love The Heartbreak, cause You're One I love "El, kamu harus ikutin kata hati." "Nggak mau. Hati selalu nyakitin kalau diturutin." "Buktinya?" "Gue ngikutin kata hati buat mulai percaya sama lu. Tapi lu malah...