Jadi Jurnalis Kampus

136 14 1
                                    

Mungkin seharusnya cerita ini diawali dengan cerita hiruk pikuknya jadi reporter atau jurnalis kampus. Walaupun kegiatannya hampir mirip dengan jurnalis media biasanya. Hasil akhirnya juga sama, berupa tulisan. Kadang, sesekali berupa live report atau video report. Namun, ada hal yang membuat keputusan untuk menjadi reporter kampus adalah keputusan yang cukup berat.

Ketika akhirnya kamu memutuskan untuk jadi reporter  kampus, kamu harus siap diri untuk belajar. Belajar ketemu banyak orang, belajar ngomong dengan orang yang tak dikenal, belajar untuk menerima judge atau penolakan dari narasumber. Juga belajar untuk lupa cara belajar yang sesungguhnya.

Kamu juga harus siap untuk jadi orang yang paling dibenci seantero kampus. Bagaimana tidak, pers kampus terkenal suka mencari-cari kesalahan organisasi lain, atau instansi (kampus). Pers kampus terkenal dengan tulisannya yang sering mengkritisi mereka-mereka yang duduk di jabatan tinggi, mereka-mereka yang suka mengambil keputusan sesuka hati.

Bukan cuma instansi, jurnalis kampus juga  sering meliput kegiatan organisasi mahasiswa, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Dua badan organisasi itu merupakan organisasi tertinggi di kampus, jadi memang sepatutnya dikritisi biar tidak berubah jadi ambisi pribadi.

Karena banyak orang yang nggak suka, akhirnya banyak yang menolak untuk menjadi narasumber. Beberapa takut karena namanya akan tercatut di artikel itu, beberapa juga takut jika kebenaran akan terungkap. Walaupun setiap reporter berpedoman pada kode etik, mereka tetap tak ingin menjalin kerjasama demi sebuah artikel pembenaran.

Penolakan-penolakan itulah yang menjadi kendala tersendiri bagi setiap reporter. Hingga ditemukan banyak sekali tipe narasumber yang bisa dikategorikan. Mulai dari narasumber ramah dan suka bicara, sampai narasumber pelit info. Ada juga narasumber pemarah, nyiyir, penggiring opini hingga narasumber yang terlalu excited. Ada pula narasumber yang suka narik ulur waktu janji ketemuan, hingga yang suka ilang-ilangan.

Ketika akhirnya reporter ini sibuk mengejar narasumber, mereka secara tidak langsung mengesampingkan kuliah mereka. Tugas kuliah terbengkalai, mood menulis juga jadi berantakan. Maka, kemerusungan jadi tak terelakkan.

Lalu, para reporter juga harus ikut dalam kepanitian. Mengurus suatu event yang melibatkan banyak orang.

"Seharusnya mereka bisa," El menggumam pelan mendengar cerita dari Kaila  tentang baku hantam antara Kansa dan Dito.

"Seharusnya reporter bisa."

Sayangnya, kita lahir dari rahim yang berbeda. Diciptakan dengan isi kepala berbeda. Tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama. Mereka bukan El. Mereka bukan pula Kansa.

***

"Kenapa lu milih ikut pers kampus?" Tanya Triyas saat El telah selesai menceritakan permasalan pelik di pers kampusnya. Hal yang akhir-akhir ini membuatnya enggan untuk menginjakkan kaki ke kantor.

"Lu kan tau, dulu gue ikut pers gara-gara temen SMA gue minta nganterin dia daftar ke sana. Ya udah, karena kru di sana humble, ya aku iseng buat daftar juga." El menjawabnya dengan santai.

"Kalau kayak gitu, kenapa lu milih bertahan?"

"Karena gue suka."

"Suka siapa? Kansa?" Goda Triyas.

"Bukan. Ya karena gue suka orang-orangnya dulu menyenangkan. Kegiatannya juga seru."

"Walaupun orang-orangnya sekarang mengerikan?"

El meringis. Semenjak ia mengikuti pers kampus, mentalnya digodok habis-habisan. Harus tahan dengan namanya judge dan guncingan teman seangkatan. Belum lagi kesibukannya kadang membuatnya harus mati-matian mengikuti kuliah dengan mata tak terbuka sempurna alias ngantuk hebat karena bergadang nulis artikel.

El ingat, dulu sewaktu ia masih menjadi reporter, ia sering jadi bahan gunjingan teman-temannya. Mulai dari tentang El yang suka liputan terus, yang paling tahu info, yang suka mengeluarkan pendapat dengan keras dan cepat, yang cuek, yang bodoamat, yang galak, dan semua sifat El yang selalu dianggap salah oleh teman-temannya. Bahkan saking nggak sukanya mereka kepada El, terkadang mereka jarang mengangap El itu ada.

El kembali meringis. Lamunannya tentang masa-masa kelam itu membuat sedikit hatinya tersentil. Sakit hati yang dulu telah membentuk El seperti yang sekarang. Lebih banyak diam, nggak suka cerita ke orang lain, ia juga lebih mencoba untuk menerima semuanya, memendam semuanya sendiri. Bahkan hal yang tak sesuai dengan keinginannya, ia terima saja. Ia tak ingin menuntut lebih. Ia coba jadi sosok yang teman-temannya sukai. Setidaknya agar El tak lagi jadi bahan guncingan teman-temannya.

"El?"

"Ha? Iya?"

"Kebiasaan. Ngalamun."

"Sorry, sorry. Tadi sampai mana?"

"Apa lu nggak berniat berhenti aja jadi pers mahasiswa?"

"Bingung gue, Yas."

"Bingung kenapa lagi?"

"Gue suka dunia jurnalistik. Gue suka nulis. Gue suka wawancara, ngusut masalah, juga suka investigasi."

"Daripada kayak gini terus? Lu mau hal yang terjadi di semester dua ke ulang lagi?"

Bunuh diri. El hampir pernah melakukan itu. Setidaknya kalau dia menghilang, ia takkan merasakan rasa  sakit itu. Begitu pikirnya saat itu.

"Beasiswa lu dicabut baru tau rasa  lu," ancam Triyas. Matanya mengarah ke pintu ruangan yang menandakan seseorang akan memasuki ruangan.

Tiba-tiba kelas yang gaduh dengan obrolan masing-masing gerombolan mahasiswa, jadi hening. Menunggu langkah seseorang dari luar sana. Siapa tahu dosen yang mereka tunggu-tunggu akan memasuki ruangan. Namun, saat nampak bukan sang dosen, melainkan teman satu kelasnya, sorakan langsung memenuhi ruangan. Laki-laki berkemeja kotak-kotak yang  baru saja menutup pintu itu cuma bisa meringis lalu duduk di bangkunya.

"Nggak selamanya lu bisa jadi sosok yang mereka sukai." Triyas berucap lagi setelah menatap ke arah El.

"Kalau itu bisa membuatku bertahan di sana, nggak pa-pa sih, Yas," kata El sambil tersenyum.

"Terus lu pinginnya gimana?"

"Gue juga bingung, Yas. Kita nggak bisa nuntut orang lain buat jadi apa yang kita inginkan. Kita juga gak bisa maksa orang untuk melakukan hal sesuai kehendak kita. Setiap kepala punya isi yang berbeda."

El terdiam sebentar.

"Jadi kalau kita bertahan lebih lama lagi, lebih sabar lagi. Belajar nerima hal-hal yang emang udah kodratnya beda, mungkin secara perlahan bakal terkendali dengan aman."

Mendengar penuturan El, Triyas terdiam. Ia tak tahu lagi harus membantu El dalam hal apa. Meminta El untuk keluar dari pers kampus itu sangat tidak mungkin. Ia mengenal El dengan baik. Jiwa tanggung jawab El sangat besar. Se-enggak sukanya El pada suatu tugas, El akan tetap menyelesaikan tugas itu. Termasuk jabatannya di pers kampus.

Ia juga tak ingin El terus-terusan tersiksa batinnya. Setiap hari El harus mendengar gunjingan-gunjingan tentang dirinya. Omongan-omongan buruk yang dapat membuat mental seorang Elisha down seketika. Meskipun, semua itu membentuk El menjadi pribadi yang lebih kuat mentalnya.

"Jadi dewasa emang capek, Yas. Harus ini, harus itu. Harus yang paling mengerti, paling memahami. Jadi sosok yang tenang, sosok yang dibanggakan. Jadi sosok yang bisa diandalkan."

Triyas mengusap bahu El perlahan.

"Padahal kita cuma manusia." []

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang