Untuk Tidak Khawatir

138 14 1
                                    

Dulu sewaktu El masih bersama Kansa, El merasa Kansa begitu menjadi sosok yang sempurna bagi El. Sifat perhatiannya, manjanya, pancaran ketulusannya, pengertiannya dalam memahami emosi El, berhasil membuat El nyaman akan kehadiran Kansa di hidupnya. Dengan lapang hati, El membiarkan Kansa memenuhi dunianya. Memasuki setiap inci kehidupan El. Mengisi relung sepi, menyembuhkan rasa trauma sedikit demi sedikit. El yang hidup dengan penuh rasa trauma akan kehilangan, perlahan menerima kehadiran Kansa. Ia percaya Kansa berbeda.

El selalu takut dengan masa lalu. Ia selalu mengingat setiap inci masa lalunya yang berhasil menorehkan luka yang dalam. Ia akan mengingat itu agar ia tak mengulanginya di masa depan. Ia tak ingin jika malamnya dipenuhi lagi dengan tangis dan sesak di dada. El tak bisa jika harus menanggulanginya sendirian. Karena itu membutuhkan waktu yang tak sebentar.

Bukannya dendam, hanya saja El tak bisa melupakan kenangan pahit di hidupnya. Entah bagaimana ceritanya, El mengingat dengan rinci itu semua. Bahkan rasa sakit hati karena kehadirannya tak dianggap oleh guru dan teman kelasnya saat duduk di bangku sekolah dasar, menyisakan luka yang sukses membuat El lebih menutup diri pada lingkungan yang bukan circlenya. Dan rasa sakit lainnya hingga berujung trauma.

Saat Kansa akhirnya memilih untuk meninggalkannya, El sadar, tak seharusnya ia menaruh percaya.

El mengusap air mata yang baru saja keluar dari sudut matanya. Ia sedang berdiri di dekat lorong pintu menuju kantor saat ia melihat Kansa berjalan ke arahnya. Kansa melewatinya begitu saja. Dia sama sekali membuang muka dari El, tatapannya dingin dan menusuk. Walaupun ada sedikit raut muka lelah yang membuat El khawatir. Namun, saat Kansa hanya melewatinya tanpa berniat menyapa, El tahu, ia sudah dibuang jauh tanpa berniat diambil kembali.

Beberapa menit kemudian, El mendengar tawa Kansa yang membahana. Ia tertawa bersama kru lainnya. Apa Kansa tak ada sedikitpun rasa bersalah pada El? Kenapa Kansa terlihat baik-baik saja saat El harus bersusah payah kembali menyembuhkan hatinya?

El kembali masuk ke ruangan, di sana Kansa bersama kru lainnya masih tertawa dengan binar bahagia. El benci itu. Ia segera membereskan beberapa buku dan alat tulis yang tadi sempat ia keluarkan. Kemudian ia memakai totebag nya.

"Gue pulang duluan ya..." katanya tanpa menatap satu per satu dari kru yang duduk lesehan melingkar di ruangan.

"Kenapa?" tanya Kaila lirih.

"Gue ada urusan bentar." El berbohong.

"Sendirian?" Kaila masih sibuk bertanya.

"Iya."

"Nggak minta dianterin Kansa?"

El melirik Kansa sesaat. Namun, yang dilirik malah membuang muka. Tak acuh padanya.

"Nggak. Pulang sendiri aja."

"Ya udah. Hati-hati."

"Okay." El berdiri. "Duluan semuanya ya..." kata El pada semua orang yang ada di dalam.

"Hati-hati, ya Kak." Ucapan itu saling bersahutan. Namun, El tak melihat Kansa membuka mulutnya untuk sekedar membalas salam.

Miris memang.

***

El harus menata hatinya lagi. Ia harus kembali membiasakan diri tanpa ada chat khusus dari Kansa seperti hari kemarin. El harus terbiasa pergi kemana-mana sendiri. Ia juga harus terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri. Persis seperti saat El putus dengan Kansa dulu.

Siklus yang diam-diam mulai dipahami oleh El.

Siang ini El harus mengembalikan novel yang ia pinjam dari perpustakaan kota. Biasanya, ia akan meminta Kansa untuk mengantarnya. Walau jarang mengantar sampai di tujuan, setidaknya Kansa akan mengantarnya sampai ke halte terdekat yang membuatnya tak perlu transit di halte tujuan akhir. Namun, sekarang, El harus mandiri. Ia melangkah menuju halte terdekat di indekosnya. Sambil membawa totebag yang berisi dua buah novel dan air minum botol kesayangannya, El menemui petugas ticketing BRT untuk membeli tiket.

El menghela nafas lega saat ia temui bus lengang. Tak banyak yang menduduki kursi penumpang. Di jam siang seperti ini, sedikit orang yang berlalu lalang menggunakan tranportasi umum. Kebanyakan orang masih sibuk dengan komputer dan tugas kantor mereka. Ada juga yang masih berjibaku dengan paper dan mata kuliah di bangku perkuliahan. Ada juga remaja yang masih sibuk menunggu dering bel pulang berbunyi.

Sayangnya, kelegaan ruang nafasnya tak bertahan lama. Setelah ia menaiki bus dari halte transit, ia menemui bus yang penuh sesak dengan berbagai kalangan. Dari mulai remaja berseragam putih abu-abu, sampai seorang ibu-ibu yang sedang mengelap keringatnya setelah mendapatkan duduk dari seorang mahasiswa beralmet warna hijau gelap.

El tersenyum senang. Ternyata, banyak orang baik di sini. Walaupun manusia semakin heterogen, ramah tamahnya masih sama. Kebaikan dari nenek moyang masih melekat dengan baik. Kekecewaan hatinya akibat Kansa, sedikit terurai. Keabaian Kansa pada perasaannya, terobati dengan manusia lainnya. Ia semakin yakin, kebahagiaan dan kesedihan itu satu paket. Walaupun datengnya jarang barengan. Tak perlu muluk-muluk juga, kebahagian itu bisa kita ciptakan dari hal yang sederhana.

Bus berhenti di halte dekat perpus kota. El turun di sana. Ia segera menuruni tangga, berjalan menuju perpus kota. Kemudian ia melakukan rutinitasnya, melakukan presensi setelah melewati pintu masuk, lalu menaiki tangga, mendekat ke loker untuk memasukkan totebagnya setelah mengambil dua novelnya, lalu mengantri untuk mengembalikan dua novel yang ia pinjam.

Saat antrian di depannya tersisa 2 orang, ponselnya berkedip. Satu pesan masuk.

Kaila:
Send a video.

El langsung mendownloadnya. Video yang terputar setelahnya membuat sepasang mata El membuka dengan sempurna. Di sana El menonton Kansa sedang bertengkar hebat dengan salah satu kru tingkat bawah. Sesekali terdengar umpatan kasar dari mulut Kansa. Balasan dari kru tingkat bawah tak kalah kasar. Lalu satu pukulan hebat mendarat di wajah Kansa. Menyisakan memar biru di pipi dekat area mata sebelah kiri. El meringis khawatir.

"Mbak, maju mbak," kata seseorang dengan menyentuk pundak kanannya.

"Oh iya, mas. Maaf."

El segera melangkah ke depan sambil memasukkan hp ke saku outernya. Lalu menyodorkan dua novel, menunggu dengan cemas.

Setelah selesai, El segera keluar lalu merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ia menghubungi Kaila secepat mungkin.

Halo, El.

"La, gimana ceritanya Kansa bisa kayak gitu?" tanya El sambil membuka lokernya.

Nggak tau, El. Tadi itu tiba-tiba Kansa marah setelah denger salah satu tingkat bawah ngomongin soal yang kita bahas kemarin waktu kumpul reporter.

"Ngomongin apa?"

Itu lho... yang soal anak litbang nggak pernah bantu reporter liputan.

"Ha?"

Habis itu. Si Kansa nggak tau gimana, tiba-tiba dia marah. Dia mencoba meluruskan apa yang lagi dibahas. Tapi dari tingkat bawah nyolot. Jadi ya gitu.

"Kansa gimana keadaannya?"

Nggak tau. Dia langsung cabut habis dipisahin sama kru lainnya.

"Lha dari tingkat bawahnya gimana? Udah ditangani kan?"

Udah kok. Ini lagi diobati.

"Oke kalo gitu."

Lu sekarang di mana?

"Lagi di perpus. Mau otw pulang sih..."

Ya udah hati-hati.

"Oke. Thanks atas infonya ya Kaila."

Okay.

El segera menutup panggilannya dengan Kaila. Ia meraih totebag dari loker lalu berjalan menuju pintu keluar. Kembali menuruni tangga. Ia memilih untuk memesan ojek online agar bisa segera sampai ke apartemen Kansa.

Kansa telah mengecewakannya. Namun, ia tak pernah bisa menahan untuk tidak khawatir kepadanya.

El memang payah. []


Comment dan klik bintangnya ya...

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang