Pulang Yang Sesungguhnya

127 10 0
                                    

Hawa dingin menerpa tubuh Kansa yang sedang duduk di ruang tunggu lain yang sepi. Tempat itu berhadapan langsung dengan taman rumah sakit. Ia baru saja menyelesaikan urusan administrasi yang diminta oleh Kania. Kini, gadis yang ia sayangi sedang berjuang di ruang operasi setelah Raka melakukan tranfusi darah.

Kansa menghela nafasnya pelan. Perasaannya cukup tenang setelah ia berbicara sebentar dengan ibunya. Walaupun keluarganya jarang berkumpul bersama, ia tak pernah sekalipun merasa kekurangan kasih sayang. Ibunya perhatian dan ayahnya adalah sosok yang ia banggakan. Semuanya baik-baik saja.

Sekarang, hatinya yang tak baik-baik saja. Ia gagal menjaga orang terkasihnya. Ia malah berpotensi membunuhnya, begitu menurut Kania.

Ia berpikir, apa sebegitu parah trauma yang dimiliki El, sampai ingin mengakhiri hidup?

Pertanyaan itu membuat Kansa teringat percakapan dengan ibunya beberapa jam yang lalu.

"Ma, apa seseorang yang punya sindrom pasca trauma, berpotensi melakukan bunuh diri?"

"Tergantung seberapa parah traumanya. Mama pernah baca artikel, seseorang yang punya PTSD, dia melakukan bunuh diri karena dia sudah tidak bisa mengendalikan ketakutan dan kecemasannya. Biasanya bermula dari self-harm, self-injury, lalu berakhir ke aksi bunuh diri seperti minum racun atau terjun dari atap gedung."

"Kayak gitu obatnya apa Ma?"

"Kalo obatnya Mama nggak tau. Tapi biasanya mereka akan terapi dan melakukan konseling sama psikolog."

"Berapa lama terapinya?"

"Tergantung tingkat parah atau tidak traumanya." Lalu hening sebentar. "Ngomong-ngomong, siapa yang bunuh diri emangnya?"

"Elisha, Ma."

"Gadis yang sering kamu ceritain itu?"

"Iya."

"Pasti sesuatu telah terjadi pada mentalnya."

"Kansa yang buat El seperti itu, Ma."

"Maksudnya Sayang?"

"..." terdengar helaan nafas yang tak biasa didengar oleh ibunya Kansa.

"Pasti ada faktor lain, Sayang. Kamu udah coba ketemu keluarganya?"

"...."

"Seseorang akan tetap baik-baik saja kalau keluarganya penuh kasih sayang. Seberat apapun masalahnya, selama keluarga mendukungnya, ia pasti bisa menghadapinya. Karena keluarga adalah rumah yang sesungguhnya."

"..."

"Tapi, bukan berarti kita bisa dengan bebas merusak hidupnya."

Kansa hanya diam mendengarkan ibunya berbicara. "Sayang, uangnya udah Mama transfer. Ini Mama harus berangkat kerja."

"Kok kerja Ma?"

"Kan ini Amerika Sayang. Di sini pagi. Mama harus berangkat sama Papa sekarang."

"Oh iya, lupa."

"Besok lusa Mama ke Indonesia."

"Ngapain Ma?"

"Nengok anak Mama lah, masak mau ke kebun binatang,"

Kansa tertawa pelan.

"Sekalian mau ketemu calon mantu Mama."

"Ma, nggak usah bercanda kayak gitu."

"Sa,"

Panggilan itu membuat Kansa bangun dari lamunannya. Reyhand menepuk pundaknya lalu duduk di sampingnya.

"Kenapa malem-malem ke sini?" Tanya Kansa sambil menatap Rey.

"Kaila maksa buat ke sini. Dia khawatir sama Elisha."

"Terus Kaila sekarang di mana?"

"Nemenin Kania. Ibunya El kayaknya juga ada di sana."

Kansa hanya menganggukkan kepala.

"Lu sendiri ngapain di sini?"

Kansa menunjukkan rokok yang sudah terbakar setengah. Rokok itu bertengger tenang di sela dua jarinya. Ia menawarkan sebungkus rokok pada Rey, walaupun sebenarnya itu hanya basa-basi saja.

"Lu lupa? Gue nggak ngerokok."

Kansa tersenyum jenaka. Lalu asap kembali keluar dari mulut Kansa.

"Sejak kapan lu ngerokok lagi?"

"Sejak semuanya makin ribet."

Rey tertawa. Lalu menepuk pundak Kansa. "Elisha lagi?"

Kansa hanya menanggapi dengan kembali mengepulkan asap rokoknya.

"Dia bakal baik-baik aja. Tenang saja."

Rey menatap Kansa lagi. "Lu nggak coba nemuin ibunya El?" Usulnya. "Siapa tau lu nemuin jawabannya."

"Lu duluan aja."

"Gue cabut dulu kalo gitu," kata Reyhand sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak dari sana.

***

Jam menunjukkan pukul 12 malam. Sebentar lagi akan berganti hari. Ruang operasi juga sebentar lagi akan terbuka. Kansa memutuskan untuk kembali ke ruang tunggu bersama yang lainnya. Namun, langkahnya melambat saat sayup-sayup terdengar pertengkaran kecil tak jauh dari ruang operasi.

Selain ada Kania, Triyas dan Raka, seseorang sedang duduk di ujung kursi ruang tunggu. Dia terlihat menepi dan bodoamat terhadap sekitarnya. Sedangkan seorang wanita paruh baya dan Laki-laki yang mulai tumbuh ubannya terlihat saling bersitegang. Keduanya berdiri tak jauh dari kursi ruang tunggu.

"Semua ini gara-gara Mas!"

Wajah tegasnya mendelik tak terima.

"Kalau saja malam itu Mas gak pergi, El nggak mungkin merasa terbebani," kata wanita itu lagi.

"Kamu juga. Kenapa ngasih tau Elisha kalo sertifikatnya diserahin ke rentenir?"

"Emang nyatanya begitu. Aku nggak bisa bayar utangnya."

Kansa menatap Kania, Triyas dan Raka dengan tatapan penuh tanya. Namun, mereka hanya mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala. Bagi Kania, mungkin pertengkaran seperti ini sudah biasa. Namun, bagi Kansa ini tak seharusnya terjadi pada keluarga Elisha.

Kansa memerhatikan Kania yang mulai jengah dengan perdebatan di depannya. Gadis itu berdiri sambil menyodorkan selembar kertas entah apa isinya.

"Om, Tante, maaf sebelumnya. Saya mau ngasih liat sesuatu," kata Kania sambil menyerahkan lembar kertas yang ia bawa.

"Itu hasil tes kejiwaan El tahun lalu. Di situ dinyatakan bahwa El memiliki masalah kejiwaan berupa PTSD. Sebuah sindrom stress pasca trauma. Tepatnya di semester dua, El mulai suka menyakiti dirinya sendiri. Sejak saat itu pula, El selalu berusaha untuk menyembuhkan trauma-traumanya. Ia coba untuk mengontrol emosinya."

Kania terlihat menahan gejolak dalam dirinya. Ia membuang nafas sebelum akhirnya kembali bersuara. "Mungkin sesuatu telah terjadi sehingga membuat El memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Namun, nggak seharusnya Om dan Tante  bertengkar seperti ini. Kita harus memberikan El semangat untuk terus hidup. Agar dia mau kembali menyapa teman-temannya dan keluarganya. Karena bagi El, keluarga adalah tempat pulang yang sesungguhnya." []





Tinggalin jejak ya,
hatinya jangan 😊

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang