El berhenti di sebuah cafe di tengah hutan yang rindang. Ia terpaku melihat pemandangan yang ada di depannya. Sebuah cafe minimalis beraksen kayu jati, berdiri di tengah hutan lindung yang bersih nan hijau. Hawa segar nan sejuk masuk lewat indera penciumannya. Sesekali aroma kopi ikut terhirup. Menyisakan sensasi tersendiri baginya.
Sesuai dengan kesepatan mereka di pertemuan lalu, Kansa akan mengajak El pergi untuk menghabiskan weekend kali ini. Walaupun sempat ragu apakah tempat ini akan disukai oleh El atau tidak, Kansa nekat mengajak pergi.
"Kok bisa nemu tempat bagus kayak gini?" Seloroh El langsung menghadap Kansa yang berdiri di belakangnya.
Kansa tersenyum senang. Perjuangannya melalang buana di mesin pencari akhirnya memberikan hasil yang memuaskan. Jika El suka, itu sudah cukup baginya.
El berjalan lebih dulu menuju teras cafe yang terdapat dua meja, masing-masing telah diisi oleh sepasang remaja. Terlihat mereka sedang mengobrol asik tanpa peduli siapa saja yang melewati bangkunya. Ketika El membuka pintu, bel nyaring menyapanya. Di sebelah kiri, berjajar meja persegi panjang yang diikuti dengan kursi yang menyesuaikan mejanya. Sedangkan di sebelah kiri, seorang barista menyapa El dengan senyum ramah.
Barista itu meletakkan buku menu di meja bar, tepat di depan El berdiri. Ia mempersilahkan El untuk memilih menu yang tersedia.
"Kamu pesen apa?" tanya Kansa mendahului.
"Coklat panas."
"Mau camilan?"
"Brownies lumer aja. Topingnya keju."
"Kenapa keju? Bukannya lu gak begitu suka keju?"
"Tapi lu suka keju. Nggak pa-pa. Pesen yang topingnya keju aja."
Kansa mengangguk-anggukan kepala paham. Lalu ia menyebutkan pesanan El ditambah dengan pesanannya. Ia memesan segelas cappucino dan salad buah. Sengaja ia memesan salad buah, karena El menyukai itu. Setelah melakukan pembayaran, ia menyusul El yang sudah terlebih dahulu melihat-lihat dekorasi cafe.
Cafe yang ia kunjungi kali ini memang sangat unik. Dekorasinya minimalis tapi tidak meninggalkan sisi instagramable di setiap sudutnya. Beberapa ornamen kayu dengan art write membuat dinding-dindingnya tidak membosankan untuk dipandang. Di beberapa sudut juga terdapat lukisan abstrak. Juga vas bunga besar di salah satu sudut dekat tangga.
"Ke lantai 2, gimana Sa?" Tawar El saat mereka sudah di depan tangga.
"Boleh."
"Lu belum jawab pertanyaan gue. Nemu darimana tempat kayak gini?" tanya El setelah mereka memilih tempat di sisi kiri pojok. Dari sini, mereka akan melihat dengan jelas matahari terbenam.
"Disaranin khusus sama Google."
El tertawa renyah. "Kenal banget sama Google, ya... sampai nawarin tempat kayak gini. Khusus lagi."
Kansa ikut tertawa.
"Suka, El?"
El terdiam menatap Kansa. "Bukannya gue yang harus bilang kayak gitu ke lu. Bosennya udah ilang apa belum? Udah ngerasa fresh lagi atau enggak sama sekali?" Goda El sambil menahan tawanya.
Kansa menganggukkan kepala beberapa kali. "Selama sama lu, itu udah cukup buat gue."
El terpaku lalu tersenyum canggung. "Bercanda lu kelewat gombal."
"Beneran kok. Lu udah cukup buat ngilangin bosen."
El membuang pandangan ke arah pohon di seberang sana. Ia tidak bisa terjebak dalam situasi seperti ini bersama Kansa. Yang harus ia pahami di sini adalah Kansa itu mantannya dan sekarang jadi temannya. Udah cukup. Sampai di situ saja. Ia tidak membayangkan hal lebih dari sekedar berteman.
"Silakan mas, mbak."
Baik Kansa atau El sama-sama mengangguk kepada pramusaji yang mengantar minuman. Lalu membiarkan pramusaji itu melenggang pergi meninggalkan mejanya.
Tatapan mata El jatuh pada salah buah yang ada di hadapannya.
"Lu pesen salad buah?"
"Iya."
"Emang doyan?"
"Nggak begitu suka sih..."
"Nah terus..."
"Itu buat lu. Kemarin kayaknya gue janji mau beliin lu salad buah. Nah, ini baru kesampean."
"Masak...."
"Iya...." Kansa meraih gelasnya. Bersiap menyesap cappucinonya. "Udah, dimakan aja."
Lalu suasana di antara mereka kembali mencair. Suap demi suap buah masuk ke dalam mulut El. Bgitu juga Kansa yang terlihat sangat menikmati brownies lumer pilihan El. Sesekali mereka bertukar makanan untuk mencicipi. Canda tawa juga tak lepas dari raut wajah mereka. Deru nafas bergantian mengiringi obrolan ringan sore itu. Bersama senja yang mulai hinggap, mereka menikmati jalan-jalan hari ini dengan tawa bahagia.
"Kok bisa bagus gini sih pemandangannya..." kata El dengan mata berbinar.
Ia tak bisa menampik bahwa senja yang sedang terbenam di ufuk barat sana sangat indah. Dari cela-cela dahan pohon yang rindang, sinarnya memberikan pemandangan tersendiri di sore yang mulai surut ini. Lampu temaram dari balkon cafe ini juga menambah kesan romantis nan tenang.
"Foto dulu yuk," ajak Kansa tiba-tiba. Ia menggandeng pergelangan tangan El untuk mendekat ke tepi balkon. Tepat menghadap ke arah senja. Ini adalah spot foto yang paling diburu oleh kebanyakan pasangan.
"Pertemuan Senja dan senja harus diabadikan," kata Kansa sambil mengerlingkan sebelah matanya pada El.
El menanggapinya dengan tawa renyah. Ia membiarkan Kansa mengulurkan kamera ponselnya kepada salah satu pramusaji yang akan lewat di depan mereka.
Mereka saling berhadapan. Saling membalas senyum dan tawa. Sesekali menghadap ke arah matahari terbenam, lalu kembali lagi saling menatap manik mata. Mereka membiarkan pramusaji itu mengambil foto sesukanya. Pose apapun itu, mereka tak peduli. Ini sudah cukup untuk diabadikan lewat ingatan. Tanpa perlu campur tangan teknologi untuk masa depan.
Pramusaji itu akhirnya menyerah. Setelah beberapa kali mengklik tombol untuk take picture, ia mengembalikan ponsel itu kepada sang empu. Dua sejoli itu kelewat romantis untuk bisa ia saksikan. Bahkan dua sejoli itu tak peduli dengan orang-orang sekitar yang menatap mereka secara terang-terangan.
Mungkin ini adalah saat yang tepat. Kansa memberanikan diri menyentuh jemari tangan kanan El. Mengenggamnya dengan niat tak ingin melepaskannya lagi.
"Elisha Senjani, ijinin aku untuk kembali memupuk percayamu. Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku masih sayang sama kamu."
Seketika El mundur selangkah. Ia tarik jemarinya yang digenggam kuat oleh Kansa. Namun, gagal. El tersenyum kaku.
"Lu bercanda kan, Sa?"
Kansa mendekat ke arah El. "Sama sekali enggak. Kali ini gue serius. Gue sayang sama lu. Gue rela lakuin apa aja buat nebus kesalahan gue yang lalu-lalu. Asal lu tetep di samping gue."
"Bisakah itu dipercaya?"
Kansa menganggukkan kepalanya dengan yakin.
"Lu yakin hal-hal yang dulu nggak akan terulang lagi?"
Kali ini Kansa menggelengkan kepala. "Gue nggak bisa janji kalau itu nggak bakal terulang. Namanya manusia, kalau itu udah sifat dasar, emang gak bisa diubah. Yang bisa hanya memperbaiki dan mengontrol diri."
El ingin mengiyakan permintaan Kansa. Namun, logikanya berteriak menolak. Apalagi setelah ingatan-ingatan itu muncul, membuat El diserang ketakutan yang tak wajar.
Kansa melihatnya. Ia melihat jemari kiri El gemetar. Ia beralih mengenggam tangan kiri El.
"Sekarang udah tau kan?" El tersenyum ragu.
"Kok bisa kayak gini sih..."
Ketakutan El makin besar. Jemarinya gemetar hebat. Ia coba mengatur nafasnya seperti yang diajarkan Kania seperti biasanya.
Melihat jemari El yang terus gemetaran, Kansa jadi panik sendiri. "Seriusan, El. Ini kenapa?" []
Tinggalin jejak dulu ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
ELKANSA [END]
Novela Juvenil[Romance-Teen Fiction] 15+ How Can I Love The Heartbreak, cause You're One I love "El, kamu harus ikutin kata hati." "Nggak mau. Hati selalu nyakitin kalau diturutin." "Buktinya?" "Gue ngikutin kata hati buat mulai percaya sama lu. Tapi lu malah...