Tentang Rasa Bersalah

81 6 0
                                    

Elisha dan Triyas sudah sampai di rumah sakit. Seorang laki-laki berumur 20 tahunan menghampiri mereka saat tiba di UGD.

"Mbak Triyas?" sapanya sedikit ragu.

"Iya, mas. Saya sendiri."

"Maaf ya mbak. Tadi saya bingung mau menghubungi siapa. Saya lihat di kolom chatnya terakhir kali chat sama Mbak Triyas. Jadi, saya langsung menghubungi nomor itu."

"Siapa, Yas?" tanya El bingung.

"Ini mas mas yang tadi nelfon gue," jelasnya pada El.

"Oh iya mas, makasih ya mas udah bantuin temen saya," kata Triyas kepada pemuda di depannya.

"Sama-sama, mbak. Saya pamit pulang dulu kalo begitu."

"Iya, Mas. Hati-hati," balas Triyas sambil menganggukkan kepala.

El ikut menatap punggung pemuda itu sampai menghilang di belokan koridor. Lalu mengikuti gerakan Triyas yang duduk di kursi tunggu. Di sampingnya, Triyas terus menatap ke depan. Sesekali memainkan ujung sepatunya dengan lantai ruangan.

Sebenarnya El ingin menanyakan maksud dari kalimat Triyas di kos tadi. Namun, stiuasi tak kunjung mendukung. Sedari tadi Triyas diam saja. Kelihatannya, Triyas cukup khawatir dengan apa yang sekarang terjadi pada Raka. El juga khawatir, tapi menurutnya tak ada yang bisa dilakukan seorang kawan kecuali berdoa dan tetap tenang saat kondisi seperti ini.

"Raka suka sama lu, El."

Mendengar penuturan Triyas yang tiba-tiba, seketika membuat El mengerutkan kening ke arah kawannya itu. Sedangkan Triyas sama sekali tidak mengalihkan tatapannya.

"Gue udah menyadari ini dari lama. Perhatian-perhatian Raka ke lu itu beda dengan perhatiannya ke yang lain. Raka baru mau jujur ke gue waktu kemarin itu.

"Kemarin, waktu kabar lu balikan sama Kansa itu beredar, Raka langsung nelfon gue buat klarifikasi kabar itu." Triyas menarik nafasnya. "Suaranya terdengar seperti orang putus asa. Makanya, gue takut banget sesuatu terjadi sama Rakka."

Triyas kali ini mengalihkan tatapannya kepada El. "Raka tetep temen kita kan El? Kita harus tetep khawatir dan ada untuk dia. Bener kan?"

Belum sempat El menjawab, seorang dokter keluar dari ruangan. Triyas dengan sigap berdiri lalu mendekat, sedangkan El mengikuti di belakangnya. Ada obrolan mengenai keluarga Raka sebelum akhirnya merembet ke kondisi Raka sekarang.

"Bersyukur dia cuma mengalami benturan ringan di kepala dan luka baret di pelipis dan sikunya. Selain itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Terima kasih, Dokter," ucap Triyas dengan raut wajah lega.

Dokter itu menganggukkan kepala. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Selamat malam."

"Malam, dok."

"Ayo, masuk," ajak Triyas saat ia telah membuka setengah pintu ruang IGD. El masih terdiam. Pandangannya seperti orang melamun.

"El,"

"Iya?" El sedikit tersentak.

"Ayo masuk."

"Iya."

Lalu mereka masuk secara bersamaan. Langkah mereka mendekat ke arah ranjang dimana Dika terbaring. Benar kata dokter, ada luka di pelipis kanan yang sudah ditutup dengan kain kasa dan perekat. Sedangkan luka baret di sikunya kanannya hanya diberi obat merah saja. Benturan di kepala menyisakan memar yang sudah berubah warna menjadi keunguan.

"Haruskah kita menghubungi orang tuanya?" tanya El tanpa mengalihkan tatapan pada memar di kepala Raka.

"Nunggu Raka siuman dulu aja. Takut bikin orang tuanya khawatir juga."

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang