Tetap Jadi Rumah

123 6 0
                                    

Ibunya masih setia duduk di samping ranjangnya, bahkan beliau masih dengan senyum cerah menyuapi El di setiap jadwal makan. Dia tidak membiarkan putrinya itu makan sendiri. Lebih tepatnya sendirian. Terlihat dari guratan keningnya, rasa penyesalan berakar kuat di sana.

El jadi merasa bersalah. Saat ia masih tak ingin mengucap kata kepada ibunya, sang ibu malah dengan telaten merawatnya, memastikan semuanya cukup untuknya. Saat ia canggung untuk memulai, ibunya tak sungkan untuk terus mengawali.

"Sesuap lagi, El," pinta ibunya sambil menyodorkan sendok ke arah mulutnya.

El menggelengkan kepala. Ia sudah cukup kenyang. Lagi pula bubur di rumah sakit sangat kelewat tidak sedap.

"Ya sudah kalo begitu," kata ibunya sambil membereskan peralatan makan yang baru saja digunakan.

"Mau makan buah?" Tawar ibunya.

El menggelengkan kepalanya lagi.

Terlukis gurat kecewa di wajah sang ibu. Namun, El juga bingung untuk memulai semuanya darimana. Meskipun begitu, ia sadar, ini bukan salah siapa-siapa.

"Buk," panggil El lirih.

"Iya, Nduk? Butuh apa?" Balas sang ibu dengan nada penuh perhatian.

Ragu sempat menerpanya. Namun, ia sayang pada ibunya. "El minta maaf, ya?"

Ibuk terpaku menatap putri keduanya.

"Elisha minta maaf udah buat ibuk khawatir. El cum--"

Belum selesai mengucapkan kalimatnya, ibunya sudah mendekapnya erat. Suara tangisnya membuat El berkaca-kaca.

"Ibuk yang salah, ibuk yang minta maaf," katanya sambil terus mendekap putrinya. Ia elus punggung putrinya dengan penuh kasih sayang. Punggung yang diam-diam memangku beban berat tak kasatmata.

"Ehem," suara besar nan tegas membuat keduanya mengurai dekapan sesaat.

"Bapak juga minta maaf. Bapak janji akan jadi bapak yang lebih tanggung jawab lagi," sambungnya sambil ikut mendekap putri dan istrinya dari sisi sebelah yang kosong.

"Kakak juga," katanya yang sudah tak dapat menahan tangisnya lebih lama lagi. Perempuan yang lebih banyak diam dari kemarin kini akhirnya memberanikan diri membuka suara. Sedikit banyak, ia merasa bersalah. Ia ikut andil dalam kekalutan yang dirasakan oleh adiknya.

"Kita jalani bareng-bareng ya, kita usaha bareng-bareng untuk lunasin hutangnya. Kita perbaiki semuanya," kata sang ibu setelah mengurai peluknya sesaat.

Bersyukur, keinginan sang ibu disambut senyum bahagia dari ketiga orang tersayangnya.

El senang, ternyata rumahnya masih bisa jadi tempat pulang. Walaupun sempat hancur berantakan.

***

Setelah hawa sunyi dengan bau penuh obat yang setiap hari harus ia hirup, akhirnya ia diperbolehkan kembali menyapa ruang sempit ternyamannya di kota Jakarta. Senang rasanya bisa kembali menghuni kamar kosnya. Dua minggu sudah cukup baginya untuk tinggal di sana.

El tersenyum senang ketika tangannya menyentuh lembut seprai baru. Ia tahu, ibunya sudah membersihkan semua sudut kamar kos tanpa menyisakan debu.

"Makasih ya buk," kata El sambil menyunggingkan senyum tulus.

"Sama-sama, Nduk," balas sang ibu sambil mengusap lembut rambut putrinya.

"Bapak sebenarnya ingin bawa kamu pulang ke Solo saja. Nanti kuliahnya diurus belakangan. Tapi,"

"Tapi nggak bisa Bapak. Beasiswanya hanya bisa untuk 4 tahun. Nggak pa-pa kok aku di sini. Aku juga udah sembuh. Hanya perlu istirahat beberapa hari," katanya tenang. "Di sini juga ada Kania. Dia yang bakal jaga aku," sambungnya sambil memeluk sahabatnya itu dari samping.

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang