Jatuh Berkali-kali

81 8 0
                                        

Malam semakin larut. Gedung PKM juga makin sepi. Namun, sedari tadi El masih sibuk di depan layar komputer kantor. Sesekali ia akan berdiri, berjalan mondar-mandir dengan raut muka berpikir keras. Ia mengabaikan kantor yang mulai ditinggal para kru lainnya. Kini hanya tersisa dirinya dan Kansa.

El masih sibuk menekuni layar monitor saat Kansa berdiri di dekatnya.

"El, udah hampir jam 12. Kamu nggak mau pulang?"

Tanpa mengalihkan tatapannya, gadis itu menggeleng kuat. "Lu pulang dulu nggak pa-pa, Sa. Gue masih mau di sini." Ia beralih ke buku panduan tentang pemrograman. "Gue harus cari tau lewat perangkat mana artikel itu di-up. Kalau di komputer kantor nggak ada, berarti seseorang sudah up artikelnya lewat perangkat lain. Gue harus cari tau itu."

"Untuk apa?" Tanya Kansa dengan tatapan marah.

"Buat nunjukin kalau emang bukan gue yang up artikel itu."

Kansa menghentikan gerakan tangan El dengan memegangnya kuat-kuat. "Udah gue bilang nggak usah dengerin mereka," kata Kansa dengan nada suara tegas.

"Gue punya telinga, Kansa," balas El tak kalah tegas. Kini suaranya naik satu oktaf.

"Lu bisa abaikan itu."

"Nggak bisa, Sa."

"Bisa. Lu aja bisa abai sama perasaan lu ke orang lain, masak lu nggak bisa abai sama omongan orang lain yang nggak penting buat lu itu?"

"Maksud lu?"

Kansa menelaah kalimatnya barusan. Sedetik kemudian ia tahu bahwa ia sudah kelewat batas. El bukan pribadi orang yang suka dibentak dan dijudge begitu saja.

Mata El berkaca-kaca. "Maksud lu, gue abai sama perasaan lu ke gue. Begitu?"

"Maksud gue nggak gitu, El," nada Kansa melunak.

"Lu bilang gue abai sama perasaan lu. Berarti lu nggak percaya sama gue."

"Nggak El, nggak gitu."

El menganggukkan kepala beberapa kali sambil menarik lengannya kuat-kuat dari cengkeraman tangan Kansa. Matanya menatap layar monitor tanpa berkedip. Jangan sampai air matanya menetes tanpa rencana. "Lu boleh pulang sekarang."

Kansa berlalu setelah mengucapkan salam. Kali ini ia sadar diri, kesalahan besar telah ia lakukan. Kepercayaan yang coba dipupuk oleh El, ia runtuhkan begitu saja. Namun, sedetik kemudian keyakinan di hatinya tumbuh. Esok El pasti mau memaafkannya.

***

Pagi ini gadis dengan rambut acak-acakan masih menggeliat di kasurnya. Beruntung hari ini weekend, ia bisa habiskan siang ini untuk mengganti tidurnya tadi malam yang lebih dari kata kurang. El pulang terlalu larut tadi malam. Jam 2 dini hari ia baru sampai di indekos. Itupun tanpa hasil yang pasti. Ia belum bisa temukan kode perangkat yang up artikel itu. Selain karena ini pengalaman pertamanya mengotak-atik program web, ia belum mendapatkan matkul pemograman dari kuliahnya. Selama ini ia belajar otodidak. Jadi jangan salah jika hal semacam ini jadi lambat selesainya.

Saat El hendak kembali melanjutkan tidurnya, otaknya memutar memori kejadian tadi malam. Ia menghela nafas keras. Kalimat Kansa terekam dengan sangat baik. Mulai dari susunan kalimat, mimik wajah sampai gerakan mata. Ia sakit hati sebenarnya. Namun, ia yakin, Kansa tak sengaja mengatakan itu. Mungkin Kansa terlalu khawatir pada dirinya, begitu pikirnya. Mungkin juga, ia bisa memaafkan Kansa untuk hal ini.

"El." Suara Kania memecah keheningan pagi ini. Kania mengetuk pintu dengan tak sabar sambil terus memanggil nama sahabatnya. "El, lu udah bangun apa belum?"

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang