Tentang Tugas dan Prioritas

80 8 1
                                    

Kadang, El ingin berdiam diri tanpa perlu berpikir isu apa yang bisa diliput untuk mengisi konten di siber. Ia ingin reporter melakukan tugas mereka masing-masing secara mandiri tanpa perlu dituntun lagi. Kepengurusan sudah berjalan setengah periode. Namun, semuanya masih sama seperti awal mereka magang. Harus dituntun dan dituju.

El mengerang kesal. Ia capek sendiri jika ia terus saja menuntut hal-hal yang tidak mungkin terjadi. Ia tidak bisa menuntut orang untuk cepat paham, cepat mengerti, cepat dewasa. Semuanya butuh proses. Sayangnya El sebal dengan proses yang tak segera menampilkan kemajuan.

El harus memikirkan isu apa yang bisa untuk diliput. Ia juga harus menentukan siapa yang bisa liputan. Padahal seharusnya, reporter harus bisa mengasah isu secara mandiri dan mengajukan diri untuk liputan lewat kesadaran diri. Bukan dengan perintah dan mengemis kemauan orang lain.

El makin frustasi jika ada reporter yang mengurungkan diri untuk liputan. Seperti keadaan sekarang, El terpaksa mengambil alih liputan hari ini.

"Senior masak masih turun ke lapangan?" Celetuk seorang narsum yang sedang ia wawancarai. Dia adalah ketua salah satu UKM.

El hanya tersenyum meringis. Miris emang. Namun, ia harus tetap terlihat profesional.

"Ya nggak pa-pa. Kan senior juga bagian dari kepengurusan. Jadi punya tanggung jawab yang sama."

"Iya sih," balas sang ketua sambil mengangguk-anggukan kepala.

"Ya udah gitu aja ya... terima kasih atas waktunya." Lalu El pamit. Ia harus segera menulis artikel sebelum artikelnya menjadi basi.

***

El masih sibuk mengetik saat seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya. Ia mengalihkan pandangannya. Ada Kansa yang menyapanya dengan senyum mengembang di bibirnya. Lalu El memutar pandangan ke sekitarnya. Ternyata kantor sudah sepi, hanya menyisakan mereka berdua. Pantas saja Kansa berani duduk di sampingnya.

"Ngapain?" tanya Kansa pelan. Tepat di telinganya. Lalu pandangan cowok itu jatuh di layar monitor laptop yang menampilkan microsoft word.

"Nulis artikel."

"Artikel apa?"

"Liputan soal surat keputusan yang dikeluarin BPM kemarin."

"Oh... yang soal denda bagi jurusan yang tidak mengirimkan perwakilan sebagai calon BPM di Pemira?"

El menganggukkan kepala.

"Kok lu yang nulis?"

El menatap Kansa tepat di matanya. "Ya nggak pa-pa. Pingin nulis aja."

"Yakin karena itu alasannya?"

"Iya," jawab El sambil menganggukkan kepala beberapa kali. Ia mulai fokus lagi untuk melanjutkan menulis.

"Bukan karena reporternya pada lelet?" Kalimat Kansa memang terlalu kasar untuk sebuah perumpamaan.

"Itu juga," jawab El dengan nada santai.

"Emang reporternya pada ngapain?"

El menghela nafas pelan. "Kita nggak bisa maksa orang lain untuk selalu mengiyakan permintaan kita. Mereka juga punya prioritas dan tugas masing-masing," ungkap El sambil mencoba menenangkan diri. Ia coba menerima semua kejutan dari semesta.

"Bukankah ini juga bagian dari tugas mereka?" Kansa mencoba membantahnya.

"Tapi ini bukan prioritas mereka."

Lalu Kansa menyandarkan tubuhnya ke dinding yang dingin. Matanya menerawang ke atas, pada cicak yang diam-diam merayap di dinding.

"Capek, ya El?" Celetuk Kansa setelah terdiam sekian lama.

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang