Namanya Kania Candrawinata. Dia paling benci jika ada yang menyebut nama belakangnya. Tapi ia masih menolerir jika itu dari Elisha atau Triyas. Karena dua orang itu adalah separuh jiwanya di kota metropolitan ini. Elisha tetap menduduki peringkat pertama. Perihal nama belakang itu, ia dapatkan dari ayahnya. Seorang Inspektur Jenderal Polisi bernama Hadyan Candrawinata. Punya jabatan tinggi di kepolisian ternyata membuat Hadyan bersikap keras terhadap istrinya. Dia bahkan masa bodo dengan perkembangan mental dari putri semata wayangnya.
Mungkin, kalian membayangkan Kania berasal dari keluarga sederhana layaknya El. Namun, nyatanya lebih dari itu. Kania berasal dari keluarga yang kaya raya. Kesuksesan ayahnya membuat semuanya terasa lebih dari kata cukup dalam urusan ekonomi. Belum lagi keluarga besar Candrawinata yang memiliki perusahaan besar di bidang properti. Seharusnya Kania tak perlu kerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan perkuliahannya. Ia juga tak perlu membuang tenaganya untuk sekedar menata kamar sempitnya agar terlihat lebih luas. Kalau ia mau, ia bisa saja menyewa kos eksklusif untuk jadi tempat tinggalnya. Atau mungkin apartemen seperti milik Kansa. Namun, pembuktian yang coba ia tunjukkan pada ayahnya membuatnya harus bertarung mati-matian dengan kebiasaannya dulu yang suka menghambur-hamburkan uang.
Di akhir kelas 3 SMA, tepatnya di hari kelulusannya, ia mendapati ayahnya bertengkar hebat dengan sang ibu. Yang ia tahu, ayahnya ketahuan berselingkuh dan ibunya marah besar akan hal itu. Sejak saat itu, baku hantam sering terjadi di rumah besar nan megah. Kania berulang kali meminta ibunya untuk menceraikan sang ayah. Namun, sang ibu menolak dengan alasan demi masa depannya. Keluarga Candrawinata tidak akan menerima Kania jika orang tuanya sampai bercerai. Sejak saat itu, Kania pergi dari rumah. Ia pamit pada ibunya bahwa dirinya bisa mengurus diri sendiri tanpa uang sepersenpun dari ayahnya. Dari keluarga Candrawinata.
Yang Kania lupakan yaitu, sejak saat itu pula ibunya kesepian. Hadyan menyalahkan istrinya yang tak bisa mengurus putri semata wayang mereka. Kania lupa, bahwa ibunya juga terluka batinnya.
"Tapi gue takut, El." Kania melepas pelukan El. Suaranya mulai terdengar serak. "Gue takut dengan pulangnya gue, nanti bakal nunjukin kalau gue gagal untuk bisa hidup mandiri. Gue aja bayar uang UKT masih kepontal-pontal."
Senyum El terbit mendengar kalimat Kania. Ia jadi ingat perkataan ibunya: "sesusah apapun hidup, kalau ada dukungan dari keluarga, semuanya akan terasa ringan dan baik-baik saja."
"Lu nggak bakal tau kebenarannya kalau lu nggak coba untuk pulang."
Kania menimbang-nimbang keputusannya. "Apa lu akan baik-baik saja kalau gue pulang?"
El menyemburkan tawanya. "Apa yang harus lu khawatirin dari gue? I will be fine, Kania."
"Gue bakal pulang sedikit lebih lama kayaknya."
"Itu malah bagus."
"Lu nggak bakal coba bunuh diri lagi, kan?" Tanya Kania dengan nada takut.
"Astaga, Kania. Lu berharap gue begitu?"
"Gue punya firasat sesuatu yang besar akan terjadi sama lu."
El memutar bola matanya dengan malas. "Firasat apaan coba?"
"Ya gue nggak tau."
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh," kata El sambil menengok jam di meja belajarnya. "Nah kan, udah petang ternyata. Gue mau tidur nggak jadi deh."
Kania bersungut marah tiba-tiba. "Mana martabak gue?"
El mendelik. "Martabak apaan?"
"Lu kemarin janji mau beliin gue martabak."
"Kapan?"
"Waktu Triyas tiba-tiba ke sini."
Pikiran El mencoba mengingatnya. "Oh, itu. Ya udah. Nanti malem kita beli."
KAMU SEDANG MEMBACA
ELKANSA [END]
Teen Fiction[Romance-Teen Fiction] 15+ How Can I Love The Heartbreak, cause You're One I love "El, kamu harus ikutin kata hati." "Nggak mau. Hati selalu nyakitin kalau diturutin." "Buktinya?" "Gue ngikutin kata hati buat mulai percaya sama lu. Tapi lu malah...