Secukupnya

108 6 12
                                    

Seharusnya Tuhan marah padanya. Ia sudah sering melupa, dengan dalih semesta tak sayang padanya. Padahal ia sendiri yang memilih tak cerita.

Namun senyatanya, bukan hal mudah untuk bercerita. Untuk mengungkap fakta rasa saja, sudah sulit tak terkira. Apalagi untuk mengatakan isi kepala yang berisik nan tak asik.

El menghembuskan nafas pelan saat seorang yang sudah lama tak ia temui, duduk di kursi dekat ranjangnya. Dia telah menganggu waktunya melamun tentang Tuhan.

"Kabar baik, El?"

"Lumayan, Ren."

"Sudah berapa lama ya, sejak terakhir kali kita ketemu?"

El nampak berpikir sebentar. "Satu setengah tahun, mungkin. Waktu aku semester dua."

"Lumayan lama ya... sekarang kamu semester berapa?"

"Naik semester enam."

El masih ingat, perempuan berparas ayu keturunan jogja yang duduk di sebelah ranjangnya adalah seorang psikolog yang memberinya pencerahan tentang mental yang ia punya. Renita Ayu Setilaras. Entahlah. El begitu menyukai nama itu sehingga ia menghafalnya dengan baik.

Pertemuan awal mereka bisa dibilang mengerikan. Di siang yang terik kota Jakarta waktu itu, El hampir ingin menabrakkan diri ke truk besar yang melintas. Namun, Renita berhasil mencegahnya. Hingga kemudian membawa El ke tempat praktek psikolognya yang tak jauh dari sana.

Lebih dari yang Kania tahu, satu setengah tahun yang lalu, El berulang kali ingin mengakhiri hidupnya.

"Apa yang kamu rasakan sekarang?"

El membeku di tempat. Matanya berkaca-kaca. Selama ia hidup hampir 21 tahun ini, tak pernah ada yang menanyakan perihal perasaannya. Kania sekalipun. Orang-orang di sekitarnya hanya meminta untuk menerima dan mengerti. Tak pernah benar-benar ada yang mau menanyakan perasaannya. Tak ada yang pernah benar-benar mau mendengarkannya.

Atau sebenarnya, dirinya yang tak bisa bercerita?

"Kenapa diam?"

"Aku gk punya jawaban," El menjeda kalimatnya. "Selama aku hidup, tak ada yang menanyakan pertanyaan itu."

"Maka, mulai sekarang kamu harus mencari jawabannya."

"Ini kamu sedang melakukan pekerjaanmu?"

"Maksudnya?"

"Konseling?"

Renita tertawa pelan. "Aku cuma mau jenguk kamu."

"Tau darimana kalo aku di sini?"

"Ya, sebenarnya ini juga diminta konseling. Dokter yang ngerawat kamu tadi minta aku untuk cek pasien. Aku nggak tau kalo pasien yang dimaksud itu kamu."

El menganggukkan kepala.

"Ini cuma perihal dunia yang berubah, Ren. Aku yang nggak siap menerima perubahannya. Kepalaku cuma terlalu berisik untuk membayangkan semua yang akan terjadi nantinya."

"Lebih jelasnya yaitu?"

"Aku nggak pernah mengira bahwa keluargaku bisa hancur seperti itu. Padahal, baru aja kemarin di awal semester 5, semuanya masih baik-baik saja."

"Tapi kamu tau kan, bahwa roda kehidupan selalu berputar?"

El menganggukkan kepala lagi.

"Kamu nggak boleh ngelupain itu."

"Tapi nggak seharusnya semua orang juga ikutan pergi kan?"

"Seperti?"

"Hubunganku sama Raka jadi canggung gara-gara dia bilang suka sama aku. Padahal aku cuma nganggap dia teman. Aku juga gk bisa ganggu Kania yang sedang menyelamatkan keluarganya."

"Rasanya seperti berdiri di tengah jeruji besi. Sendirian dan menyakitkan."

El menyetujui pernyataan Renita.

"Kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan?"

"Menerima dan beradaptasi. Menerima bahwa mungkin suatu saat nanti orang tuaku akan benar-benar berpisah. Beradaptasi bahwa suatu saat aku harus hidup sendirian." El mengatakannya dengan sadar diri.

Perempuan pemilik senyum manis itu menganggukkan kepala.

"Kamu nggak memintaku untuk nggak bunuh diri lagi?" Tanya El setelah hening memandu mereka sesaat.

"Jika kamu mau menerima dan beradaptasi terhadap semuanya, kamu nggak akan berpikiran untuk bunuh diri lagi. Karena kamu sudah mempersiapkan semuanya."

El terdiam datar.

"Hal kayak gitu malah cenderung buat hati mati rasa, benar?"

El ragu. Namun ia menganggukkan kepala.

"Menerima bukan berarti kamu nggak boleh berekpresi. Beradaptasi bukan berarti kamu harus sama. Lakukanlah sewajarnya. Secukupnya."

"Apa wajar ada batasnya?"

"Nggak ada. Kalo kamu suka, itu adalah wajar."

El terdiam menelaah. Banyak hal yang berkeliaran di kepalanya. Namun kali ini lebih tersusun dari yang sebelumnya.

"Apa konseling hari ini cukup?" Tanya Renita sambil tersenyum simpul.

El ikut tersenyum. Paras ayu itu berhasil membuat El menaikkan kedua ujung bibirnya. Membentuk lengkung senyum yang sudah lama hilang dari wajahnya.

"Oh iya, aku bawa salad buah buat kamu. Saat tahu kalo ternyata pasienku itu kamu, aku langsung pesan salad buah," katanya sambil terkekeh manis. "Nanti kalo ke tempat praktekku, kubuatin khusus buat kamu. Nih," sambungnya sambil mengulurkan wadah bening berukuran sedang yang penuh dengan aneka buah itu.

Senyum El surut saat menatap salad buah pemberian Renita. Salad buah itu mengingatkan dirinya tentang cafe hutan lindung, apartemen, dan Kansa. Nyeri menyerang hatinya tiba-tiba. El urung menerimanya.

"Kenapa?"

"Apa kamu pernah jatuh cinta, Ren?"

Perempuan itu cukup terkejut dengan pertanyaan El. Namun, kemudian senyum terbit di wajahnya. Ia menarik tangannya mendekat ke pangkuan.

"Pernah."

"Pernah kecewa?"

"Pernah juga."

"Setelah itu apa yang kamu lakukan?"

"Setiap orang punya penyelesain hati masing-masing, El. Caraku dengan caramu pasti berbeda."

"Kamu nggak ada saran?"

"Memaafkan."

"Nggak semudah itu."

"Nah iya kan... yang punya penyelesaiannya cuma kamu sendiri. Karena kamu yang tahu kondisi hati kamu saat ini."

Masih duduk di atas ranjang, gadis itu mengerutkan kening.

"Coba biarkan hati kamu yang berbicara. Dengarkan saja. Kalo kepalamu masih berisik, lakukan hal yang kamu suka."

El kembali terdiam.

"Udah. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti makin berisik kepalanya," katanya bercanda. "Nih, makan dulu."

Akhirnya El menerima salad buah itu. Ia membenci Kansa. Namun, ia menyayanginya. Ia ingin melupakannya. Namun, kepalanya berisik minta diingat. Ia ingin mati. Namun, mimpinya terlalu besar untuk ditinggalkan ternyata. Mungkin memang mati bukanlah jawaban dari semuanya. Benar kata Kania: jika ia mati, rasanya akan sia-sia untuk semua mimpi dan angannya. Jadi jurnalis lepas, CEO PR consultant, jadi ibu rumah tangga.

Diam-diam, El mengembangkan senyum mengingat semua mimpinya.







Drop your comment di bawah ya.. jangan lupa buat klik bintangnya. Thank you semuanya. Menuju akhir yang sesungguhnya.

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang