Ini bukan rumah.
Ini bukan rumah.
Ini bukan rumah.Kalimat itu terus bersuara di kepala. El berkali-kali menyumpal telinga. Mulai dengan kedua tangan sampai bantal dan boneka kesayangannya. Semuanya ia lakukan agar telinganya tuli untuk tiga kata itu. Namun, suara itu tetap terdengar. Belum lagi sakit yang tak tahu bersumber dari mana. Rasa sesak tak tertahankan membuat El harus menepuk dadanya berkali-kali.
Makin lama, Sakitnya makin tak terkendali. Kepalanya berisik sekali. El mengerang frustasi. Ia bergelung di atas ranjang sambil menangis sejadi-jadi. Ia kebingungan harus melakukan apa untuk mengurangi rasa sakitnya. Ia bahkan mengabaikan panggilan dan kedoran pintu yang berkali-kali dilakukan ibunya.
Dalam sekejap, rumah yang ia bangga-banggakan, runtuh seketika. Rumahnya bukan lagi tempat pulang. Ayahnya, ibunya, kakaknya, semuanya asing baginya. Bahkan ia tak lagi mengenali seperti apa rumahnya dulu. Keluarga yang ia kira baik-baik saja, ternyata menyimpan kenyataan penuh luka. Ayahnya berhutang demi kuliahnya, ibunya bekerja untuk membiayai hidupnya, kakaknya pergi tanpa diketahui rimbanya. Sedangkan dirinya asik mengejar cinta yang bahkan telah dicampakkan begitu saja.
El kembali menepuk dadanya. Sesaknya tak kunjung reda. Ia butuh pengalih rasa. Saat ia menarik paksa handband di pergelangan tangannya, kalimat Anna malam itu terngiang di kepala.
"Janji sama diri lu sendiri, demi gue, demi Kania, lu nggak bakal lukai diri lu lagi, dalam bentuk apapun. Janji?
Namun, sedetik kemudian ia mengabaikan suara itu. Ia menarik kain kasa yang menutupi luka jahitnya. Kemudian, dengan langkah terseok ia mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melancarkan aksinya. Saat ia hendak mempertemukan sisi tajam cutter dengan pergelangan tangannya, tiba-tiba suara Kania muncul dalam kepalanya.
"Lu harus ingat El, lu nggak pernah sendirian. Ada gue yang akan selalu sayang dan peduli sama lu."
"Apapun yang terjadi, jangan pernah coba untuk bunuh diri. Lagi."
Jemari El gemetar. Tanpa sengaja ia menjatuhkan cutter. Ia terduduk bersandar kaki meja belajar. Sesaknya tak kunjung hilang. Yang ada sakitnya makin membabi buta.
"Lu punya kendali atas hidup lu sendiri. Jadi sayangi dirimu lebih dari apapun itu."
Kalimat Anna yang lain berputar di kepala. Kali ini ia coba mendengarkan. Ia coba kendalikan rasa sakitnya. Ia coba kendalikan traumanya. Pelan-pelan ia atur nafasnya. Walau masih tercekat, tak apa. Ia tak tahu apa ini akan berhasil, tapi pelan-pelan sesaknya mulai berkurang. Walaupun kenyataan pahit ini menggores tepat di hatinya. Ia mencoba menerimanya. Meskipun itu hanya bagian kecil yang harus ia percaya.
Diam-diam El mulai terlelap dalam tidur. Tubuhnya meringkuk di lantai tanpa alas sama sekalinya. Ia sudah hancur sehancur-hancurnya. Dalam tidurnya, ia terus mempertanyakan, ke mana ia harus pulang?
***
Surya belum terbit benar ketika suara-suara itu datang bertubi-tubi. Bising berupa jeritan dan panggilan yang tak kenal kata berhenti. Lalu suara mirip debrakan pintu membuat El terpaksa membuka mata dengan sempurna.
El terbangun dengan badan yang terasa remuk semua. Tubuhnya minta diluruskan. Ia berdiri sambil berusaha mengumpulkan ingatan. Kamarnya cukup berantakan. Dirinya juga. Ia berjalan keluar ketika suara berisik itu kembali menghentak kesadarannya.
"Heh! Utang kapan dibayar?" kata seorang wanita bertubuh gempal dengan wajah garang. Baju bunga-bunga lengan seperempat itu tidak cocok untuk postur tubuhnya. Gemerincing gelang emasnya membuat suasana pagi ini makin berisik. Belum lagi dua pengikutnya: laki-laki dengan tubuh sama sangarnya yang senang sekali mengedor pintu rumah.
Di depan wanita itu, berdiri ibunya yang terlihat sangat kurus. Rambutnya digelung secara asal. Pasti kepalanya sakit sekali setelah dijambak oleh suaminya sendiri.
"Kasih saya waktu ya, mbak," kata ibunya dengan kedua telapak tangan disatukan di depan dada.
"Mbak, mbak. Dikira saya ini mbak kamu? Saya udah kasih waktu 1 bulan, tapi setengah dari hutangmu juga belum dibayar!" Balas wanita itu dengan nada yang naik satu oktaf.
"Kasih saya perpanjangan waktu lagi," pinta ibunya.
"KAPAN MAU BAYAR?" teriak wanita itu dengan nada kesal.
Ibunya melonjak kaget sebelum akhirnya kembali bersuara. "Minggu depan. Minggu depan saya gajian. Saya akan langsung bayar."
Wanita itu menatap kedua pengawalnya. Lalu mereka secara bersamaan menganggukkan kepala. "Baik. Minggu depan saya ke sini lagi. Kalau sampe nggak dibayar, rumah saya sita," katanya dengan ganas.
"Ayo, pergi," ajaknya kepada kedua pengawalnya.
Seperginya wanita dan dua pengawalnya itu, ibunya terduduk di sofa ruang tamu. Wajahnya ditekuk. Dia terlihat sangat putus asa. Serasa ada batu besar yang bertengger di pundaknya. Membuat El makin merasa menjadi anak yang tak berguna.
"Jadi ini maksud Ibuk yang harus berangkat kerja pagi-pagi?" Tanya El sambil berjalan menghampiri ibunya.
Sang ibu yang mendengar suara putrinya langsung berdiri menghampirinya. Ia kelewat khawatir ketika semalaman ia terus saja mendengar suara tangis dari kamar putrinya.
"Kamu nggak pa-pa kan?" tanyanya dengan mengecek satu per satu kondisi tubuh putrinya.
"Jadi bener, Bapak ngutang ke rentenir biar bisa bayar biaya masuk aku kuliah?" El kembali bertanya.
"Aku jadi beban buat Bapak sama Ibuk. Iya?" Katanya sambil mengigit bibir bawahnya. Matanya sudah berkaca-kaca.
Ibunya menggelengkan kepala sambil ikut menahan tangisnya.
"Kalau nggak beban, apa namanya? Bapak aja udah nggak sanggup, Kakak pergi, terus nanti Ibuk juga akan pergi. Iya kan?" Katanya dengan suara lirih.
Ia ingin menolak semua kenyataan ini. Namun, pahit kopi harus ia minum sampai ampasnya.
"Ibuk nggak akan pergi. Ibuk janji."
El menggelengkan kepala dengan tegas. "Semua orang di sekitar El ingkar pada janji yang mereka buat sendiri. Ibuk jangan ikut-ikutan."
Sekuat tenaga El menahan ngilu pada relung hatinya. "Aku akan kembali ke kota. Kerja part time di sana. Biar aku yang bayar utangnya. Toh itu juga buat biaya kuliah aku. Biar aku yang tanggung bebannya. Biar Bapak dan Kakak mau pulang lagi. Biar kita kumpul kayak dulu lagi," katanya yang kemudian berjalan cepat ke kamar.
Gadis itu menggapai tas lalu memasukkan semua barang yang awalnya ia bawa pulang. Dengan gerakan cepat ia membereskan semuanya. Lalu menyampirkan tas di pundaknya. Sebelum benar-benar pergi, ia serahkan sisa uang yang ada di dompetnya.
El menimang uangnya.
"Terlalu sedikit untuk uang muka. Jadi ini untuk Ibuk saja," katanya setelah menyakinkan diri bahwa ia bisa mendapatkan pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Ia juga masih punya tabungan untuk makan 3 hari kedepan. Bulan depan uang beasiswanya juga akan turun.
"Jangan, El. Simpan buat kamu saja," pinta Ibuk sambil menepis pelan tangan putrinya.
"Untuk Ibuk saja. Aku pamit."
Lalu El melenggang pergi meninggalkan rumah. Tekatnya sudah bulat. Ia akan gunakan libur semesternya untuk mencari pekerjaan kemudian bekerja. Ia akan kumpulkan uang untuk membayar semua hutang ayahnya. Walupun senyatanya, ia tak tahu serupa apa 20 juta itu. Ia hanya pernah menghitungnya dalam mata kuliah akuntansi saja.
Tak peduli seberapa banyak, ia tetap akan berjuang. Ia ingin keluarganya kembali seperti semula. Ia ingin semuanya baik-baik saja. []
Terima kasih udah sampai di bab 36. Menuju puncak, minta tolong untuk divote ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
ELKANSA [END]
Teen Fiction[Romance-Teen Fiction] 15+ How Can I Love The Heartbreak, cause You're One I love "El, kamu harus ikutin kata hati." "Nggak mau. Hati selalu nyakitin kalau diturutin." "Buktinya?" "Gue ngikutin kata hati buat mulai percaya sama lu. Tapi lu malah...