Ujung Besi Di Belokan Gang

67 7 0
                                    

Terakhir kali El melukai dirinya sendiri yaitu saat semua orang merundungnya. Saat itu perkuliahan di akhir semester 2 sangat sibuk. El yang masih terus belajar beradaptasi harus menerima bahwa teman-teman seorganisasinya membicarakan hal-hal buruk tentangnya. Mereka menyatakan dengan terang-terangan bahwa El sangat menganggu kehidupan mereka. Bahwa mereka mengharapkan El diam dan tak perlu banyak bicara.

El hanya ingin mengembangkan bakat menulisnya. El hanya ingin mendalami dunia pers yang baru dijajakinya. Sudah cukup itu saja. Ia bahkan tetap mencoba abai ketika teman-temannya jarang merespon idenya yang kelewat batas. Ia tetap tinggal di sana dengan harapan, teman-temannya mau menerimanya. Namun, sayangnya semesta memberi kejutan bahwa setiap orang punya cara tersendiri untuk menunjukkan kebenciannya. Yang El lupa, ia terlalu polos untuk tahu arti benci yang sesungguhnya.

Kali ini El melukai dirinya lagi. Lukanya tidak cukup dalam. Namun, berhasil membuat dua orang yang ia sayangi khawatir berlebihan.

"Gue udah pernah bilang kan El, alihkan pikiranmu ke yang lainnya. Apapun kecuali melukai diri sendiri," kata Kania sambil membalut luka dengan perban.

"Makan banyak atau ngapain gitu. Nggak harus kayak gini," sambung Kania. Sepertinya Kania berniat terus  mengomel sampai dia lelah sendiri.

Pikiran El mengulang kejadian sebelum Kania menjadi ceriwis seperti sekarang.

"Astaga El, pergelangan tanganmu berdarah."

El berbalik sambil menyembunyikan lengannya makin ke dalam.
"Nggak kok. Cuma luka kecil."

"Luka kecil apanya? Sini lihat," perintah Kansa sambil menarik lengan El dengan paksa. Ia melihat darah segar keluar dari pembuluh darah.

Kansa merobek ujung kemejanya dengan paksa. Lalu ia gunakan itu untuk membalut luka sementara. Matanya sempat melirik El yang terlihat terkejut dengan perlakuannya pada kemeja kesayangannya. "Nggak usah protes. Hidup lu lebih penting daripada kemeja gue."

Lalu ia meminta El untuk duduk di kursi yang berada di teras. Kemudian ia merogoh saku jeansnya untuk mengambil ponsel. Sambil menatap lekat kedua mata El, ia menunggu sahutan seseorang dari sana.

"Iya, Sa. Kenapa?" Suara Kania menggema di telinganya.

"Lu keluar sekarang! Bawa P3K."

"Siapa yang sakit?"

"Udah cepetan keluar."

"Oke oke. Gue turun sekarang."

Beberapa menit kemudian, Kania keluar dari pintu utama sambil menenteng box P3K. Saat ia melihat pergelangan tangan El diperban, Kania menjerit hebat. Dengan gerakan cepat ia memeriksa luka temannya itu. Mulutnya tak henti bersuara. El tahu, sahabatnya itu kelewat khawatir.

"El!" Kania melotot marah. "Lu dengerin gue ngomong gak sih?"

"Iya iya. Gue denger kok. Thanks ya... udah khawatir sama gue," kata El sambil tersenyum tulus.

Kania menganggukkan kepala. "Ya udah. Ayo masuk. Lu harus istirahat."

El menghentikan ajakan Kania. Ia mengalihkan tatapannya pada Kansa yang sedari tak bersuara. Aura wajahnya dingin. Matanya mengilatkan kemarahan.

"Are you see that?" tanya El pada Kania sambil mengerlingkan sebelah mata.

"Oke. I see," balasnya sambil menganggukan-anggukan kepala. "Nggak usah lama-lama. Istirahat jangan lupa."

"Siap."

Selang beberapa waktu setelah kembalinya Kania ke kamar kosnya, El memusatkan perhatiannya pada Kansa. Laki-laki tinggi itu sedari tadi mengunci mulutnya rapat-rapat. Sesekali matanya jatuh pada gerakan Kania yang telaten tadi, tapi setelah itu ia mengalihkan tatapannya kemana saja.

"Kansa," panggil El pelan sambil meraih tangan besar itu.

Kansa membalas El dengan mendekap tubuh kecil di depannya itu. Ia membenamkan wajah El pada dadanya. Ia dekap sekuat tenaga agar tak ada yang bisa melukai kekasihnya itu. Ia tutup kedua telinga kecil itu agar tak mendengar hal-hal buruk apapun itu.

"Gue nggak bisa nafas, Sa," kata El dengan suara putus-putus.

"Kamu harus janji dulu kalau hal kayak gitu nggak bakal diulangi lagi?"

"Emangnya gue ngelakuin apa?"

"Nggak usah bohong."

"Siapa yang bohong, Sa? Ini tadi nggak sengaja kena ujung besi di belokan gang sana. Ada tumpukan besi panjang yang nggak sengaja gue tabrak. Jadi ya, begini."

Memang ya, kalau masalah mencari alasan, El adalah juaranya.

"Beneran?"

"Iya. Coba aja nanti kalau pulang dicek sendiri," kata El bersungut setelah Kansa melepaskan dekapannya.

"Ya udah kalau begitu," kata Kansa sambil memasukkan tangannya ke saku celana kanan. "Udah makan atau belum?"

"Sudah."

Kansa menganggukkan kepala beberapa kali. "Sana masuk. Langsung istirahat. Nggak usah keluar-keluar lagi."

"Gue tetep harus keluar lagi. Kuliah masih berlanjut, Sa..."

"Kan itu besok."

"Ya emang besok."

"Ya maksudnya keluar untuk hal-hal yang penting aja."

"Iya, iya."

"Aku pulang dulu kalau begitu."

"Oke. Hati-hati."

Lalu Kansa berbalik menuju parkiran untuk mengambil motor. Setelah gerbang tertutup sempurna, El baru meraih gagang pintu untuk masuk ke indekosnya. Ia melihat pergelangan tangannya lagi. Ia merasa traumanya makin hari bukannya makin membaik malah memburuk. Sebenarnya, ia juga tak sadar kalau tadi ia melukai dirinya. Ia hanya menekan pergelangan tangannya sekuat tenaga untuk mengalihkan rasa sesaknya, untuk mengalihkan suara kepalanya yang terus mendengungkan kalimat yang sama.

El terpaksa melakukannya. Ia harus menutupi alasan yang sesungguhnya. Ia tak ingin Kansa tahu bahwa traumanya sudah mencapai taraf yang memprihatinkan. Ia takut Kansa akan memandangnya sebagai gadis gila yang butuh belas kasihan. Lalu ketika sudah bosan, Kansa akan meninggalkannya. Kansa takkan bertahan dengan seorang gadis penuh kenangan pahit yang menyisakan trauma psikis yang sukar disembuhkan.

Tanpa sadar, ia sudah sampai di depan kamarnya. Ia mendapati Kania berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Kania berdiri tepat di depan pintu kamarnya sendiri yang bersebelahan dengan kamar El.

"Apa ada yang bilang hal buruk tentang lu?" Kania memulai interograsi.

"Nggak ada."

"Apa ada yang bully lu?"

"Nggak ada."

"Ada yang mau nyelakain lu?"

"Nggak ada."

"Ada yang mau memperkosa lu?"

"Astagfirullah, Kania. Macem-macem ya pikirannya."

Kania mengerang frustasi. "Lha terus apa lagi. Kenapa hal kayak gini bisa terulang lagi?"

El terdiam. Ia menatap lekat mata Kania yang menyiratkan kekhawatiran.

"Lu harus ingat El, lu nggak pernah sendirian. Ada gue yang akan selalu sayang dan peduli sama lu."

"Iya, Kania. Gue tau itu."

Kania menangkup kedua tangan El dengan tangannya. "Gue cuma punya lu, El. Lu harus tetep hidup," pinta Kania dengan mata berkaca-kaca.

El menganggukkan kepala. "Iya."

Kania memeluk El dengan erat. "Apapun yang terjadi, jangan pernah coba untuk bunuh diri. Lagi." []





Tinggalin jejak ya... vote vote vote  😘

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang