Kembali Memupuk Percaya (2)

70 9 0
                                    

Kansa melihatnya. Ia melihat jemari kiri El gemetar. Ia beralih mengenggam tangan kiri gadis di depannya itu.

"Sekarang udah tau kan?" El tersenyum ragu.

"Kok bisa kayak gini sih..."

Ketakutan El makin besar. Jemarinya gemetar hebat. Ia coba mengatur nafasnya seperti yang diajarkan Kania seperti biasanya.

Melihat jemari El yang terus gemetaran, Kansa jadi panik sendiri. Genggaman tangan Kansa makin kuat. "Seriusan, El. Ini kenapa?"

Sambil mengatur terus detak jantungnya, El menjelaskan dengan nada pelan. "Ini salah satu efek dari pasca trauma. Post Traumatic Stress Disorder. Gue punya banyak pengalaman yang ninggalin trauma ketakutan di dalam diri gue. Perasaan takut yang berlebihan, yang nggak bisa gue kontrol sendiri."

Pandangan Kansa teralihkan, dari genggaman tangannya pada jemari El, beralih ke manik mata El yang mulai berkaca.

"Jadi ini maksud lu, gue termasuk orang yang ninggalin trauma ketakutan di hidup lu, begitu?" Tanya Kansa pelan dan hati-hati.

El ingin membisu. Namun, tatapan mata Kansa memintanya untuk segera menjawab. "Iya."

"Lu ninggalin gue. Lu diemin gue tanpa lu jelasin apa salah gue. Lu pergi gitu aja setiap kali liat gue. Lu jauhin gue seakan-akan gue barang yang udah nggak berguna lagi," sambung El sambil menahan isakannya.

Kansa terpaku. Ia tak tahu respon apa yang harus ia berikan. Demi apapun, ia tak bisa melihat orang yang paling ia kasihi menderita seperti ini. Namun, ia juga tak menduga bahwa kesalahan yang dulu ia lakukan akan berdampak sebesar ini pada El.

"Padahal kita masih satu organisasi. Bisa lu bayangin gimana rasanya ngeliat orang yang lu sayangi menebar tawa dengan orang lain. Namun, membuang muka setiap kali bersitatap."

"Gue minta maaf, El," kata Kansa dengan penuh penyesalan. "Tapi lu udah tau kan, kenapa akhirnya gue bersikap kayak gitu."

"Iya. Setelah gue mati-matian bertahan dari semua rasa sakit itu."

Kansa menunduk. Hening menyelimuti mereka. Suara langkah kaki pengunjung di sekitarnya menjadi latar suara sore ini. Senja mulai ditelan gelapnya malam. Bulan bersiap menggantikan tugasnya.

El menarik lengannya dari genggaman Kansa. Ia tak ingin mengulangi ini. Jika ia masih di sini, hatinya akan makin terluka. Ia tak tahu apalagi yang akan terjadi pada kejiwaannya setelah ini. Tangan yang gemetar sudah cukup jadi pertanda bahwa trauma ini masih ada.

"Gue harus pulang," katanya sambil menjangkau tas selempangnya. Langkahnya cepat menuruni tangga. Gemuruh suara kayu sempat menjadi pusat tatapan semua pengunjung di sana.

El berhenti di teras cafe. Ia lupa jalan pulang. Ia tadi tidak begitu memperhatikan jalan saat berangkat tadi. Namun, sejurus kemudian ia teringat dengan app ojolnya yang masih bertengger di deretan apps hpnya. Dengan cekatan, ia mengakses lokasi untuk mencari driver ojol tercepat. Berhasil. Seorang driver menghubunginya.

"Iya, pak. Di cafe area hutan lindung, pak. Bapak tahu?"

Belum sempat driver ojol itu menjawab, Kansa sudah merebut ponsel itu.

"Maaf, pak. Saya cancel ya? Teman saya ini lagi sakit. Jadi saya memutuskan untuk mengantarnya sendiri. Maaf ya, pak," bohong Kansa pada sang Driver ojol.

"Oh iya, mas. Nggak pa-pa. Semoga cepat sembuh."

"Makasih, pak."

Kemudian sambungan diputus.

"Apaan sih, Sa? Gue mau pulang."

"Gue anter."

"Nggak usah. Lu cuma kasihan sama gue setelah lu tahu apa yang terjadi sama gue. Iya kan?"

Kansa terdiam.

"Gue nggak normal, Sa. Mental gue sakit. Gue gila. Gue psikopat." El mengerang frustasi. Beruntung mereka berdiri jauh dari pintu cafe. Bagian teras juga sudah sepi dari pengunjung.

Kansa meraih lengan El yang gemetar. Lewat kedua tangannya, ia coba salurkan kekuatan untuk El.

"Gue minta maaf, El."

"Lu selalu ninggalin gue, Sa."

"Kali ini nggak akan lagi."

"Gue takut, Sa."

"Ada gue di sini. Lu nggak perlu takut."

"Lu janji kali ini nggak bakal ninggalin gue lagi?" tanya El yang mulai bisa mengontrol kembali emosinya.

"Janji."

El menimang-nimang keputusannya. Sambil terus menenangkan detak jantungnya, ia terus berpikir kalimat seperti apa yang cocok untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.

"Gue nggak bisa ngasih kepastian untuk kembali menjalin komitmen bersama, tapi gue mau coba kembali untuk memupuk percaya."

"Serius, El?"

"Iya."

Lalu Kansa melakukannya. Ia menarik tubuh El ke dalam dekapannya. Membenamkan kepala gadis itu ke dadanya sambil mengelus lembut rambut El. Mencium wangi harum yang sudah lama ia rindukan sambil menyunggikan senyum bahagia.

"Ini udah cukup, El. Lu udah mau percaya lagi sama gue itu udah cukup buat gue," kata Kansa sambil memperat dekapannya.

El menguarkan dekapan itu. "Setidaknya nanti kalau lu mau pergi, bilang. Kalau lu udah capek berjuang, bilang sama gue. Jangan tiba-tiba ilang. Jangan tiba-tiba diam tanpa alasan," pinta El sambil menghapus sisa air matanya.

Kansa tersenyum bahagia. Kali ini ia tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Sambil terus menatap manik mata El, ia menyakinkan diri bahwa ia takkan pergi lagi.

"Gue nggak akan pergi, El. Gue janji." []








Comment apapun boleh! 😁

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang