Duka Paling Serius

136 10 0
                                        

El menolak bertemu siapapun. Operasinya berjalan dengan lancar, dan ia telah melewati masa kritisnya. Kesadaran juga telah kembali sempurna padanya. Namun, ia menolak untuk bertemu siapapun. Bahkan Kania sekalipun. Ia hanya ingin mati sekarang juga. Ia hanya ingin pulang selain di rumahnya yang sudah hancur berantakan. Bukan juga kampusnya yang penuh dengan luka karena jatuh cinta.

Hanya dokter dan perawat yang boleh memasuki ruangan. Tak ada seorang pun yang boleh masuk tanpa seijin darinya.

Menuju dua hari setelah El bangun dari operasinya, ia masih tak ingin bertemu siapapun juga. Kania yang sejak awal sudah uring-uringan, ia makin frustasi saat tahu El masih tak mau menerima kunjungan.

"Dok, temen saya baik-baik aja kan di dalam?" Tanya Kania khawatir.

"Pasien baik-baik saja."

"Terus kenapa nggak mau ketemu orang?"

"Itu permintaan pasien sendiri. Saya tidak bisa melarangnya."

"Terus bagaimana ini?" Katanya sambil memutarkan pandangannya ke orang-orang. Di sebelahnya berdiri Kansa bersama ibunya, di sebelahnya lagi ada kedua orang tua sahabatnya, sedangkan sang kakak hanya duduk menunduk di kursi tunggu. Tak jauh dari Kansa, ada Triyas dan Raka yang masih setia menunggu.

"Yas, Raka, lu ada ide nggak? Kita harus lakuin sesuatu nih..." tanya Kania sambil memutar tubuhnya ke arah Triyas.

Triyas menggelengkan kepala sambil menatap Kania sedih. "Gue nggak punya ide."

"Masih gue pikirkan," balas Raka.

"Gimana ini..." erang Kania frustasi.

"Mohon untuk tetap jaga ketenangan. Biarkan pasien istirahat," kata sang dokter yang kemudian pamit undur diri.

Belum sampai langkah ketiga, Kansa memanggil dokter itu lagi. "Dokter, apa Elisha sama sekali tidak mau bertemu kami?"

Dokter itu menggelengkan kepala dengan rasa menyesal. "Mohon untuk dimengerti keinginan pasien."

Kansa menghela nafasnya pasrah. Ia menatap ibunya dengan raut wajah bingung: meminta solusi. Ia harus segera pamit sebelum ia tertinggal pesawat.

"Lu kenapa, Sa?" Tanya Kania curiga.

"Gue harus ikut ke Amerika."

Ah, jadi ini alasan mamanya Kansa ke sini, batin Kania sambil menahan rasa kecewanya. Rasa kecewa yang mungkin juga dirasakan oleh sahabatnya. Walaupun benci, Kansa punya posisi tersendiri di hati sahabatnya. Ia tak bisa pungkiri itu.

"Lu nggak mau ketemu El dulu?" Tanya Triyas.

"Dia masih nggak mau bertemu siapapun. Gue nggak bisa maksa."

Dasar! Cowok nggak mau berjuang! Batin Kania geram.

***

Ruangan serba putih kembali menyapa El setelah ia bangun dari tidurnya. Hari belum berganti. Fajar belum nampak sama sekali. Jadi, ia memutuskan untuk tidur kembali. Baru saja ia ingin menutup mata, seseorang seperti menggerakkan lengan kanannya. Membuatnya mengurungkan niat untuk menutup mata.

El menghela nafas saat matanya menatap wajah ibunya. Mengapa perawat-perawat itu membiarkan ibunya masuk ke ruangan? Batin El kesal. Lalu di sofa sana, sedang tertidur Bapak dan Kakaknya.

Kenapa mereka terlihat baik-baik saja saat dirinya berusaha mengakhiri hidupnya?

Ah, El makin ingin mati saja. Ia benci pada kenyataan bahwa ia masih hidup. Apa Tuhan begitu menyayanginya sehingga membiarkan ia hidup lebih lama? Atau sebenarnya Tuhan sedang menyiksanya di dunia?

ELKANSA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang