Jeno tak bisa berbuat apa-apa saat ia kembali terbangun setelah mungkin semalam dia mengamuk. Jeno sendiri tak tau dia bisa melakukan hal itu. Ada rasa sesal yang hinggap saat melihat ketiga orangtuanya datang dengan keadaan yang kacau namun mereka berusaha tersenyum dan begitu sabar memberi pengertian tentang keadaannya.
Bukan Jeno menyalahkan siapapun atas keadaannya sekarang. Tapi dia takut, dia takut akan ditinggalkan. Jeno takut semua akan menghilang seperti suara mereka yang sudah tidak lagi terdengar. Sekarang dia sudah tau tentang keadaannya. Jeno hanya diam tak tau lagi harus bagaimana.
"sayang"
Jeno mengalihkan atensinya merasa tangannya digenggam. Ia juga melihat ibunya tampa mengatakan sesuatu. Ini juga yang Jeno takutkan. Ia tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Jeno semakin frustasi melihat ibunya terus bicara, dia tidak mengerti.
"i-bu, aku tidak bisa dengar" kata Jeno begitu gelisah. "jangan bicara padaku, jangan. Aku tidak bisa mendengar ibu"
Sunghee merengkuh Jeno yang kini menggenggam tangannya erat. Sunghee begitu sakit melihat putranya begitu gelisah dan frustasi sedangkan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kesakitannya bertambah saat Jeno justru meminta maaf.
"maaf, aku tidak bisa mendengar suara ibu. Bukan aku tidak ingin, tapi aku tidak bisa" isak Jeno dalam pelukan Sunghee.
Sunghee lantas melepas pelukannya pada Jeno. Ia mengambil memo kecil dan bullpoint yang memang disiapkan untuk Jeno berkomunikasi. Karena sekarang hanya ini satu-satunya cara.
kau masih bisa menulis dan membaca sayang. Jangan takut, ibu yang akan menjadi telingamu sekarang
Jeno kembali menatap Sunghee setelah membaca tulisan Sunghee. Ibunya itu mengangguk pasti padanya.
"ibu, aku takut semuanya akan malu karena aku cacat"
tidak ada yang seperti itu. Mereka ada di sampingmu. Mereka tidak akan meninggalkan Jeno sendirian. Kita semua menyayangi Jeno. Ibu mohon jangan takut dan jangan memikirkan hal buruk apapun. Jeno harus sembuh
Dengan getar rasa ragu, Jeno mengangguk pelan yang kemudian membuat Sunghee tersenyum. Ibu dari tiga orang anak itu bersyukur Jeno-nya mau untuk kembali bertahan dan berjuang.
***
Jaemin baru saja keluar kamar setelah seharian harus mengurung diri di balik selimut. Sepulang sekolah mendadak tubuhnya ambruk di depan rumah dengan suhu tubuh yang tinggi. Bersyukur ada pembantu yang saat itu sedang di rumah. Saat Jaemin bangun, ia juga tidak mengingat apa-apa. Ia hanya merasakan plester demam yang ada di keningnya.
"Jaem, sudah lebih baik?" tanya Jaehyun menyadari keberadaan adiknya.
"kenapa di rumah hyung? kau tidak menemui Jeno?" bukannya menjawab Jaemin justru berbalik tanya.
"aku sudah kesana. Tapi bibi menelponku saat kau pingsan. Aku yang pulang, Jeno butuh ayah dan ibu" jelas Jaehyun. "jadi bagaimana?masih sakit?" ulangnya.
"tidak. Sudah lebih baik" jawab Jaemin.
"kau tidak akan menjenguk Jeno dengan keadaan seperti ini. Jadi sembuhlah dulu lalu temui dia"
"iya"
"Jaemin?"
"hm?"
"dua hari lagi ada persidangan. Kau diminta datang sebagai saksi. Aku tidak akan memaksa. Jika kau tidak mau tidak apa-apa"
Jaemin menghentikan gerakannya yang akan meminum segelas air. Meletakkan kembali gelas air itu dengan tatapan yang menerawang jauh.
Jaehyun berdiri di samping Jaemin. Membayangkan sang adik yang bahkan belum genap berusia delapan belas tahun namun sudah melalui berbagai rintangan yang tak mudah dalam hidup. Ia lantas menepuk pundak Jaemin yang membuat anak itu tersadar dari lamunannya.
"jangan memaksakan diri" ucap Jaehyun.
"ini masalahku hyung"
"tidak, ini masalahku. Kau akan datang sebagai saksi sekaligus korban. Akulah target utama percobaan pembunuhan dan teror itu"
Jaemin gugup, seakan tidak bisa mengambil keputusan. Banyak yang ia pertimbangkan. Ia meneguk silvanya untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Jaehyun lantas berdecak pelan. Menarik tangan Jaemin lalu menyuruhnya duduk di kursi meja makan. Jaehyun menyodorkan segelas air yang tadi akan Jaemin minum.
"minum dulu, bibirmu kering"
Jaemin menurut apa kata Jaehyun. Ia meneguk setengah gelas air itu.
"aku tidak mau kau memikirkan ini lalu jatuh sakit lagi. Tapi kau harus mengetahuinya. Kau adalah saksi kunci" ujar Jaehyun sambil menunduk.
"aku akan datang"
Jaehyun mendongak mendengar tiga kata yang diucapkan Jaemin secara pasti.
"Jaemin-"
"hyung, aku akan datang. Tak perlu khawatir"
Jaehyun tersenyum kecil sambil mengangguk. Mengusap pelan kepala Jaemin.
"hyung, kalau aku berkata bohong di persidangan... maka Taeyong hyung akan lolos dari jeratan hukum kan?" tanya Jaemin yang mendapat anggukan ragu dari Jaehyun. "jika dia bebas, apa dia akan tetap berbuat jahat?"
Jaehyun menghela nafas. Entah dia harus bagaimana menghadapi Jaemin saat ini. Perasaannya campur aduk hingga ia tidak bisa mendeskripsikan.
"aku tau banyak yang kau pikirkan. Paman Kyunwoo, bibi Sooyeon, dan Lami bahkan Minhyung. Aku juga tidak ingin mempengaruhi pikiranmu untuk menjebloskan dia ke penjara. Tapi ada kalanya kita harus realistis, Jaem" ujar Jaehyun lalu berdiri dari duduknya.
"entah hukum mana yang akan membalas kejahatan yang telah dilakukan oleh manusia itu sendiri" kata Jaehyun lalu meninggalkan Jaemin seorang diri ruang makan.
Jaemin merenung. Bukan hanya keluarga Taeyong yang dia pikirkan, tapi keluarganya sendiri juga ia pikirkan. Bagaimana Jaehyun mendapatkan teror itu hingga Jeno yang dua kali terancam nyawanya karena ulah Taeyong.
Jaemin meremas tangannya sendiri karena gusar. Ia membutuhkan seseorang yang bisa menjadi sandarannya.
*
*
*
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Time (YOU AND I) | Book II ⚠️ON HOLD⚠️
FanfictionTidak ada yang bisa menebak takdir kehidupan. Semua ingin menjalani tanpa beban dan penuh keberkahan. Tapi apakah Tuhan memberikan secara cuma-cuma? Before and After of CRASH