Lami menyentuh hampir setiap kain yang ia nilai bagus dan menarik. Siang ini ia bersama Jeno sedang mengunjungi toko kain impor di pusat perbelanjaan, tentu saja kain terbaik dan mahal tersedia disini. Sedang asik melihat berbagai jenis kain yang indah, Lami mengalihkan perhatiannya pada Jeno yang sibuk dengan ponselnya. Ia lantas menghela nafas. Jeno mengajaknya kemari tapi ia tidak tau maksud dari ajakan itu. Malah Jeno membiarkan Lami sendirian berkeliling melihat berbagai kain keluaran terbaru.
"Jadi, tuan Jung, kenapa kau ajak aku kemari?" Tanya Lami membuat atensi Jeno teralihkan.
Jeno memasukkan ponselnya dalam saku lalu berjalan mendekati Lami sembari tersenyum tipis.
"Jangan tersenyum, aku tidak butuh. Jelaskan saja kenapa mengajakku kemari?" Dengus Lami.
"Membeli kain" jawab Jeno singkat.
"Iya aku tau kita akan beli kain disini. Tapi untuk apa?"
"Lami, bisa bantu aku?"
"Apa?"
"Ayah dan nyonya Kwon akan menikah bulan depan. Bisa kau buatkan setelan gaun dan tuxedo untuk mereka? Aku hanya ingin memberikan hadiah karena sepertinya mereka juga akan mengadakan pesta kecil bersama rekan-rekan kerjanya."
Lami terdiam. Itu artinya Jeno akan punya ibu sambung. Terlebih yang akan menjadi ibu sambung Jeno adalah Kwon Boa, wanita yang Lami tau tidak disukai oleh Jeno. Ini artinya Jeno sudah berdamai dengan semuanya. Lami bingung menanggapi, apakah ia harus terlihat senang atau prihatin.
"Kau baik-baik saja dengan pernikahan itu, Jeno?" Pertanyaan itu yang dipilih oleh Lami.
Jeno terdiam sejenak sebelum ia tersenyum hambar. Tidak ada yang Jeno rasakan saat ini. Apakah ia benar-benar baik-baik saja dengan pernikahan ayahnya, apakah ia bahagia atau justru sedih. Jeno belum bisa mendeskripsikan perasaannya. Jeno tersenyum lebih lebar lalu mengangguk.
"Ayahku berhak bahagia, Lami. Aku tidak mau ayahku kesepian di masa tuanya. Ibuku sudah punya ayah Chilhyun. Sedih rasanya jika melihat ayah terus menerus sendirian. Apalagi aku tidak selalu bisa menemaninya." Ujar Jeno.
"Ya sudah ayo pilihkan kainnya."
Daripada bertanya lebih jauh, Lami tidak ingin lancang dengan ikut campur urusan keluarga Jeno. Ia menarik Jeno untuk ikut memilih kain yang akan dibeli. Lami menunjukkan antusias tinggi yang memang sengaja ia lakukan agar rasa sedih yang mungkin tertinggal dalam benak Jeno bisa menghilang.
Sembari memilih, Lami juga sedang memikirkan desain gaun seperti apa yang Jeno inginkan untuk calon ibunya. Berulang kali Lami bertanya dan Jeno hanya menginginkan gaun yang sederhana namun nampak mewah digunakan dalam pesta kecil. Akhirnya setelah memutuskan membeli cukup banyak kain untuk membuat satu pasang pakaian Jeno dan Lami menuju kassa.
"Terima kasih" ucap wanita di balik kassa yang dibalas senyuman kecil oleh Jeno.
"Kau yakin tidak ada yang kurang?" Tanya Jeno pada Lami.
"Jika ada yang kurang kita bisa membelinya nanti setelah aku selesai membuat desainnya. Kau terlalu mendadak." Ujar Lami.
"Maaf" kata Jeno sambil tersenyum jahil. "Ya sudah ayo pulang."
"Sayang sekali dia menggunakan alat bantu dengar di kedua telinganya."
"Tampan, tapi cacat. Apalagi gadisnya cantik."
Jeno dan Lami sontak menghentikan langkah mereka. Mata Lami memanas setelah mendengar dua pramuniaga sedang bergunjing tentang Jeno. Merasa yang dibicarakan akan marah, kedua pramuniaga itu terkesiap lalu pergi. Lami sudah akan berbalik namun langkahnya tertahan oleh Jeno.
"Apa?!" Sentak Lami pada Jeno. Air matanya pun sudah menggenang.
"Jangan. Ayo pulang." Ucap Jeno berusaha tenang.
"Mereka membicarakanmu, Jeno."
"Tapi apa yang mereka bicarakan benar." Ucap Jeno membuat Lami membisu. "Aku mohon jangan, Lami. Ayo pulang"
Lami diam, membiarkan Jeno menariknya keluar dari tempat itu sambil menatap marah kedua pramuniaga yang tadi membicarakan Jeno. Syukurlah hari ini Jeno memilih menggunakan supir untuk mengantarnya. Sesampainya di mobil Lami masih diam berusaha meredam emosinya. Jeno sesekali menatap Lami dan berulangkali menghela nafas berat.
"Ini yang tidak ingin aku lihat, Lami. Kau tidak siap dengan apa yang mungkin saja terjadi ketika kau bersamaku." Kata Jeno memecah keheningan.
"Jeno dengarkan aku. Aku sama sekali tidak memiliki rasa malu atau kesal saat bersamamu. Tapi semua perkataan orang yang meremehkanmu tidak bisa aku diamkan. Mereka keterlaluan."
"Wajar-"
"Wajar? Wajarkah semuanya hingga membiarkan mereka melecehkanmu secara verbal? Aku tidak meragukan kekayaanmu. Bahkan aku yakin kau bisa membeli toko itu beserta karyawannya. Tapi tidak untuk rasa sakit, Jeno. Rasa sakitmu tidak akan semudah itu hilang. Dan aku tidak mau kau menerima rasa sakit lagi dan lagi."
"Memarahi dan membuat mereka di pecat dari pekerjaannya juga tidak bisa menghilangkan rasa sakitku begitu saja, Lami. Tidak ada rasa lega yang akan rasakan, justru akan semakin sesak sebab orang lain mengalami kesulitan karena aku."
"Jeno, bukan seperti itu yang aku maksud. Aku-"
"Terima kasih untuk rasa simpati dan perhatianmu, Lami. Mungkin lebih baik kedepannya aku bisa pergi sendiri. Kau tuliskan saja keperluannya. Atau kau mau pergi sendiri aku akan mengirim supir untuk mengantarmu."
Selesai dengan kalimatnya Jeno memilih melepas alat bantu dengarnya. Lami menatap Jeno sedikit tak percaya. Jeno mengalihkan perhatiannya ke jendela mobil dan melihat jalanan kota yang cukup padat. Lami berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Alasan Jeno mengalihkan perhatiannya hanya karena tidak ingin menatap Lami yang berkaca-kaca.
***
Langit menggelap begitu Jeno sampai di rumah, lebih tepatnya rumah Chilhyun. Ia pikir di rumag akan sepi karena tadi sore Jaehyun mengabari akan pulang ke apartemen, namun yang ia dapati kedua orang tua dan saudaranya sedang duduk di ruang keluarga. Jeno diam begitu empat pasang mata mengalihkan atensi mereka padanya.
Raut tegang, kesal, dan bingung bisa Jeno baca dari wajah Jaehyun juga Jaemin. Sunghee yang awalnya terlihat sedih kini tiba-tiba saja tersenyum, atau lebih tepatnya memaksakan senyum untuk menyambut Jeno. Begitu pula dengan Chilhyun yang berusaha untuk setenang mungkin.
"Sudah pulang, nak?" Tanya Chilhyun retoris.
"Sudah dapatkan kainnya?" Tanya Sunghee sembari menuntun Jeno duduk, Jeno hanya mengangguk.
"Ada yang sedang kalian bicarakan? Kenapa tegang sekali?" Tanya Jeno langsung pada intinya.
Jaehyun menatap Chilhyun sejenak sebelum akhirnya pria paruh baya itu mengangguk kecil. Jaemin masih diam menyandarkan punggungnya ke sofa dan melipat tangan di depan dadanya.
"Akan ada persidangan Kim Taeyong dua minggu lagi. Kemungkinan dia bisa segera bebas." Ucap Jaehyun.
"Aku- aku tidak tau. Ku pikir dia tidak benar-benar bersalah padaku. Jika harus bertanggung jawab dan memohon ampunan bukankah sebenarnya dia melakukan itu padamu dan Jaemin, hyung?" Balas Jeno.
"Dia jahat karena suatu alasan." Lirih Jaemin.
"Itu kecelakaan, Jaemin. Sekali lagi aku tekankan itu kecelakaan, bukan salahmu." Kata Jaehyun penuh penekanan.
Suasana kembali hening hingga helaan nafas Jaemin terdengar berat. Ia berdiri dari duduknya.
"Aku serahkan keputusannya di pengadilan. Apapun itu, aku akan menerima keputusan hakim." Kata Jaemin lalu pergi.
*
*
*
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Time (YOU AND I) | Book II ⚠️ON HOLD⚠️
FanficTidak ada yang bisa menebak takdir kehidupan. Semua ingin menjalani tanpa beban dan penuh keberkahan. Tapi apakah Tuhan memberikan secara cuma-cuma? Before and After of CRASH