Fifty Seven

266 31 11
                                    

Jaemin berdiri bersandar di depan mobil sembari menatap rumah Hina. Sudah jam makan malam dan rumah itu nampak sepi. Hanya lampu-lampu yang menyala tanpa ada tanda-tanda adanya si pemilik rumah. Jaemin bahkan tak tau Hina di rumah sendiri atau bersama ibu dan kakaknya. Karena setau Jaemin dua orang itu sedang di Jepang sejak sidang pertama tuan Nakamura.

Setidaknya sudah tiga kali Jaemin mengurungkan niatnya menekan tombol bel di depan pagar. Ini adalah yang keempat dan ia masih belum berani menekan tombol itu. Jaemin takut, apakah Hina masih marah padanya.

"Kau sedang apa di situ?"

Jaemin terkesiap dan sontak menjauhkan jarinya yang akan menekan bel. Ia beralih ke sumber suara. Hina dengan dress selutut dan mantel tebal sembari membawa tas plastik besar menatap Jaemin bingung.

"Hina" Jaemin bersuara. "Kau dari mana?"

Hina mengangkat tas belanjanya menunjukkan bahwa ia baru saja ke minimarket. Jaemin beranjak mendekati Hina dengan tatapan khawatir.

"Ini sudah malam, kenapa kau keluar sendiri? Jika butuh sesuatu bilang padaku. Akan aku belikan, jika tidak aku bisa mengantarmu. Jangan berkeliaran sendiri malam hari"

Hina hanya diam mendengar ocehan Jaemin. Ia tau pasti Jaemin trauma dengan kasus penculikannya. Jika boleh jujur, sebenarnya Hina senang dengan perlakuan Jaemin yang seperti ini. 

"Pacarku sedang sibuk. Bagaimana bisa aku mengganggunya?" balas Hina.

"untuk kali ini, Hina. Selanjutnya jangan pergi sendiri malam hari" pinta Jaemin yang mendapat anggukan ragu dari Hina.

"Ibu dan kakakku tidak akan kembali ke Korea, ku rasa" ucap Hina.

"Jadi kau benar-benar sendirian?"

"iya"

Hina terdiam menatap manik mata Jaemin yang teduh. Hina selalu terbuai dengan tatapan Jaemin. Dalam situasi apapun Hina selalu merasa nyaman dengan keberadaan Jaemin di sampingnya. Terbukti setelah berhari-hari mereka tak saling bicara dan berkirim pesan, Hina merasa semuanya begitu hampa.

"Aku ingin jalan-jalan, Jaemin"

Dan benar, apapun yang Hina minta Jaemin akan selalu berusaha mengabulkannya. Tanpa bicara apapun Jaemin meraih tas plastik dari tangan Hina dan meletakkan di kursi tengah mobilnya. Ia lantas membukakan pintu mobil untuk Hina.

"ayo"

***

Jaemin dan Hina saling diam selama perjalanan. Kini Jaemin memarkirkan mobilnya di pinggiran sungai Han. Mereka tak berniat untuk keluar dari sana. Jaemin hanya duduk menyandarkan tubuhnya dengan nyaman di kursi kemudi. Hina tau sebenarnya Jaemin nampak lelah tapi kekasihnya itu masih bisa menuruti keinginannya untuk jalan-jalan.

"Aku minta maaf, Hina" ucap Jaemin.

"Lagi? Kali ini untuk apa?" Tanya Hina.

"Semuanya"

Jaemin menatap Hina yang bahkan sejak tadi tak mengalihkan pandangan darinya. Jaemin masih menyandarkan tubuhnya di kursi kemudi. Ia lantas meraih tangan Hina.

"Aku tak tau apa yang aku lakukan begitu menyinggungmu" kata Jaemin.

"Jaemin, kau tau aku sangat marah?" Tanya Hina yang membuat Jaemin sedikit takut.

"Aku marah bukan padamu. Tapi pada takdir yang begitu jahat padamu"

Skakmat. Hina benar-benar berhasil membuat Jaemin bungkam. Bahkan tanpa sadar melepaskan genggamannya dari tangan Hina.

"Kenapa masalah terus saja datang padamu? Bahkan masalah yang aku alami pun turut menyeretmu ke dalamnya. Kenapa takdir jahat sekali padamu? Dan aku tak suka terus melihatmu merasakan sakit dan kesulitan seperti ini tanpa melakukan apapun"

Beautiful Time (YOU AND I) | Book II ⚠️ON HOLD⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang