Nineteen

1.6K 181 41
                                    

Lee Junho bersama orang tua dan mertuanya harus menerima kenyataan pahit bahwa anak dalam kandungan Sunghee dinyatakan meninggal dan kandungan Sunghee bermasalah hingga divonis tidak dapat mengandung lagi. Hal itu disebabkan oleh kecelakaan yang baru saja dialami Sunghee, jatuh dengan posisi tengkurap.

Lee Jeno, anak enam tahun itu menangis tanpa tau permasalahannya. Yang ia tau ibunya sakit karena berdarah-darah dan dokter bilang adiknya sudah tidak diperut ibunya. Jeno terus saja menangis dalam dekapan kedua neneknya. Tangisnya bahkan semakin mengeras. Mendengar itu Junho baru menyadari ada Jeno disini. Pria itu lantas mengambil alih Jeno dari dekapan ibu dan mertuanya, langsung saja ia gendong. Jeno hanya menenggelamkan wajahnya di bahu sang ayah dengan tangannya yang erat melingkar di leher Junho.

"ayah... hiks... ibu" isak Jeno.

"ibu Jeno baik-baik saja, eum? tenang ya, nak" bisik Junho menenangkan.

"adik kecil hilang. Jeno benci bibi jahat!"

Saat itu juga Junho membenci Kwon Boa yang akhirnya harus berurusan dengan polisi. Kwon Boa dihukum satu tahun penjara dengan tuduhan penganiayaan.

Setahun setelah hukuman dijalankan, Kwon Boa bebas. Orang pertama yang Boa cari adalah Sunghee. Wanita itu memohon ampun pada Sunghee lalu meninggalkan korea tanpa sepengatahuan orang lain termasuk Junho. Hingga saat Junho menemani Jeno di jepang, mereka dipertemukan kembali dalam keadaan yang berbeda.

"ibu yakin dia sudah berubah?" tanya Jaemin. "dia ada di sekitar sini sekarang, apalagi dekat dengan tuan Lee. Mendadak aku juga takut dia kembali melakukan hal buruk pada ibu"

Sunghee terkekeh melihat respon Jaemin.

"tidak, sayang. Ibu yakin dia sudah berubah. Karena ibu tau Kwon Boa adalah orang yang baik sejak dulu, hanya saja ia dibutakan oleh cinta" kata Sunghee.

drrrttt

Hina :
ayo bertemu

Jaemin membulatkan matanya dan menahan nafas. Apakah ia bermimpi sekarang? Gong Hina mengiriminya pesan ingin bertemu. Jaemin terpaku, tidak bisa mengekspresikan rasa bahagianya. Akhirnya rasa rindu yang ada akan terobati.

"ibu, aku harus pergi" pamit Jaemin sembari tersenyum lebar dan mata penuh binar bahagia.

"sudah malam, kau mau kemana?" tanya Sunghee.

"Hina, dia mengajakku bertemu. Sudah lama aku tidak bertemu dengan dia. Aku sangat merindukannya"

Sunghee hanya mengangguk. Putra bungsunya itu terlihat begitu semangat. Kentara sekali bahwa memang Jaemin sangat menyayangi dan mencintai gadis berdarah jepang, Gong Hina.

***

Jaemin memarkirkan mobilnya setelah sampai di tempat yang dijanjikan Hina. Hanya sebuah taman kecil yang kebetulan juga tidak banyak orang disani. Jaemin mengedarkan pandangannya mencari sosok Hina yang jelas sudah menunggunya disini.

"Hina!" panggil Jaemin begitu mendapati Hina sedang berdiri menatap air mancur di tengah taman.

Hina membalik tubuhnya. Menatap Jaemin yang berlari ke arahnya dengan antusias dan terlihat begitu bahagia. Jaemin langsung memeluk Hina erat, menumpahkan rasa rindu sekaligus khawatir yang tumbuh subur dalam benaknya.

"kemana saja, eum? aku sangat merindukanmu. Sangat, sangat, sangat" bisik Jaemin.

Hina menegang mendengar bisikan Jaemin. Ingin rasanya ia membalas itu dengan mengatakan bahwa ia juga merindukan Jaemin dan sampai kapanpun akan mencintai Jaemin. Tapi Hina tidak ingin perpisahan yang akan ia ciptakan akan bertambah berat. Hina yang sejak tadi tak bersuara dan tidak membalas pelukan Jaemin kini melepaskan pelukan Jaemin.

Rasa khawatir dan prasangka buruk muncul dalam hati dan pikiran Jaemin. Hina berbeda dari sebelumnya. Apakah selama mereka tidak bertemu secepat itu pula Hina berubah. Apalagi malam terakhir sebelum mereka tidak berkomunikasi, Hina dan Jaemin masih sempat menikmati kencan mereka.

"Hina..."

"aku tidak tau sebenarnya harus mulai dari mana" ucap Hina membuat Jaemin gugup.

Hina nampak begitu serius tanpa ada senyum di wajah manisnya.

"aku sengaja tidak datang ke acara kelulusanmu. Aku juga bingung dengan malam terakhir kita kencan. Tidak seharusnya aku melakukan itu bersamamu, Jaem"

"maksudmu apa, Hina-chan? apakah ada yang salah" tanya Jaemin.

"aku ingin mengakhiri hubungan ini"

Jaemin menahan nafasnya beberapa detik. Ada yang menghantam dadanya dengan keras yang membuatnya merasa sesak hingga tidak bisa mengeluarkan suaranya. Rasanya seperti air dingin dalam gelas kaca yang disiram air panas, gelas itu akan pecah.

"kau bercanda. Apa masalahnya hingga kau ingin putus?" tanya Jaemin berusaha mengumpulkan nyawanya kembali.

"sudah sejak lama aku memikirkan ini dan aku baru menyadarinya. Aku tidak benar-benar mencintaimu, Jung Jaemin. Selama ini apa yang ku berikan padamu adalah karena rasa kasihan. Melihatmu dulu dicampakkan oleh Lami dan menerima banyak kebencian. Aku kasihan padamu" ujar Hina tanpa ada rasa bersalah walaupun itu semua adalah kebohongan.

"kau bohong padaku, Hina? begitukah maksudmu?"

"iya"

"woah... hahaha"

Tawa Jaemin pecah saat itu juga. Tawa keras yang sarat akan kepedihan. Bahkan Hina sendiri merasa sakit mendengarkan tawa itu.

"lalu kenapa bisa kau bertahan sejauh ini jika kau kasihan padaku, Hina? kenapa kau kembali kesini? menelfonku? kenapa tidak kau tinggalkan saja aku sejak saat kau di jepang? tidak perlu kembali ke korea! tak mengertikah bahwa aku tulus mencintaimu, Nakamura Hina!" emosi Jaemin meluap.

Wajahnya memerah dengan mata yang tadi berbinar kini nampak berkaca-kaca. Rasa sedih dan amarah bercampur jadi satu. Seakan Jaemin sudah siap meledak saat ini juga.

"aku tidak ingin pergi tanpa pamit! aku tidak mau mencampakkanmu begitu saja. Kita mulai hubungan ini dengan baik, dan aku harap akan berakhir baik pula. Aku datang ke korea untuk membicarakan ini padamu. Aku ingin mengatakannya sejak awal tapi melihatu yang semangat saat menerima telfon dariku, aku tidak tega mengatakannya padamu" ujar Hina.

Angin malam terasa semakin dingin dengan suasana seperti ini yang dihadapi Jaemin dan Hina. Jaemin tidak bisa lagi menatap Hina. Ia hanya tidak ingin. Bereaksi apapun juga rasanya tidak akan berguna malam ini. Hina hanya kasihan padanya, bukan mencintainya. Setidaknya itulah yang Jaemin tau.

"aku akan mengantarmu pulang, sudah malam" ucap Jaemin membuat Hina menatap lelaki dihadapannya tak percaya. "untuk yang terakhir, Hina. Aku tidak ingin mengambil resiko kau pulang sendirian. Aku hanya memastikan kau sampai rumah dengan selamat"

Jaemin menghentikan mobilnya setelah sampai di rumah Hina. Tak sedikitpun keduanya saling tatap. Hina melepas seatbelt lalu membuka pintu mobil.

"Terima kasih, Jung" ucap Hina.

"hm" balas Jaemin.

"selamat tinggal" pamit Hina lalu disusul suara pintu mobil yang tertutup.

Jaemin masih diam menyenderkan kepalanya di jok mobil. Saking sakitnya hingga ia mati rasa. Jaemin tidak bereaksi apa-apa bahkan setelah Hina masuk ke pekarangan rumahnya.

Jaemin lantas melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Ia tak peduli apapun, meski berulang kali ada mobil yang mengklakson dirinya.

Disisi lain, Hina terisak di balik pintu kamarnya. Ia duduk, menenggelamkan wajahnya di lipitan lutut.

"maafkan aku Jaemin, maafkan aku. Aku mencintaimu"

*
*
*

tbc

harap maklum kalo ada typo

Beautiful Time (YOU AND I) | Book II ⚠️ON HOLD⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang