Sixty Six

261 46 1
                                    

Jeno menjadi orang pertama yang keluar dari ruang persidangan. Tanpa kata dan tanpa suara. Ia meninggalkan orang-orang di dalam yang saling berpelukan dan meminta maaf.

Atensinya teralihkan pada layar ponselnya. Sudah tiga kali panggilan yang ia tujukan pada Lami belum juga ada jawaban. Jangankan jawaban, terhubung saja tidak. Gadis itu benar-benar mematikan akses semuanya untuk dihubungi.

Jeno tau kemana Lami pergi. Ia tau di mana Lami berada. Namun untuk melangkah ke sana dan menemuinya, Jeno ragu. Entah Jeno yang tak ingin mengganggu Lami atau karena ia takut akan alasan lainnya. Jeno lantas duduk menyandarkan kepalanya ke dinding.

"Nak?"

Jeno terkesiap akan panggilan itu. Boa berdiri di sampingnya masih menggunakan baju kebesaran seorang pengacara. Tanpa diminta, Jeno berdiri dan tersenyum tipis. Sangat tipis hingga Boa pun paham makna senyuman itu. Hanya sekadar pelipur lara, Jeno tak ingin orang di sekitarnya khawatir.

"Ibu terima kasih" ucap Jeno.

"Kau mau aku panggilkan ibu Sunghee?" Bukannya membalas ucapan terima kasih, Boa justru menawarkan hal lain.

Senyuman Jeno luntur. Ternyata bagaimanapun Boa tetaplah seorang ibu, meski hanya sebatas ibu tiri baginya. Boa tetaplah wanita dewasa yang berpikiran layaknya orang tua pada anaknya. Boa khawatir dengan hanya melihat Jeno saja, ia tau anak tirinya itu sedang dilanda rasa sedih yang begitu besar.

"Tidak usah. Biar ibu Sunghee menemani Jaehyun hyung dan Jaemin dulu. Mereka butuh ibu Sunghee. Aku tak apa" ujar Jeno, lagi dan lagi dengan senyuman terpaksa.

"Nak, jika tak pada ibu Sunghee. Tetap biarkan ayah Junho tau apa yang kau rasakan. Mereka orang tuamu. Jangan kau simpan sendiri apa yang menjadi beban pikiranmu. Jika kau sakit, mereka juga akan merasakan sakit yang amat besar karena rasa bersalah" tutur Boa.

Mendengar nasehat itu membuat senyuman Jeno yang tadinya terpaksa benar-benar hilang. Tembok tinggi yang Jeno bangun sebagai pertahanan perlahan runtuh. Matanya mulai memerah dan berkaca-kaca. Hati Boa tergugah memeluk Jeno meski anak itu tak lantas membalas pelukannya. Boa mengusap punggung Jeno pelan.

"Tak apa jika kau mau menangis, tidak ada salahnya. Kau bisa tumpahkan itu padaku. Mungkin ini caraku menebus kesalahanku pada orang tuamu. Aku tak ingin kau merasa tersakiti sedikitpun, Nak"

Jeno membalas pelukan Boa. Akhirnya tangisan terdengar cukup nyaring. Jeno menumpahkan segala kesedihannya pada pelukan Boa.

"Kau sudah lakukan yang terbaik. Jangan merasa bersalah atas apapun. Kau sudah melakukan hal yang benar, Jeno. Kau hebat, seperti ayah dan ibumu" kata-kata penenang terus Boa berikan sambil mengusap punggung Jeno.

Tanpa mereka sadari, Junho ada di sana. Mendengar Boa yang menenangkan Jeno dan suara tangisan Jeno yang menyakitkan. Tak bisa menahan diri, pria itu menghampiri istri dan putra semata wayangnya.

Jeno yang sadar akan kehadiran Junho pun melepaskan pelukannya dari Boa. Ia beralih pada pria itu. Menumpahkan segala kesedihannya yang Jeno sendiri tak tau dari mana perasaan itu berasal. Apakah hanya karena hubungannya dengan Lami yang diujung tanduk atau karena hal lain. Jeno tak tau.

"Sampai kapanpun kau tetap bayi kecil untuk ayah. Jangan sungkan untuk hal apapun. Ayah dan ibu ada di sampingmu. Dan sekarang kau punya ayah Chilhyun dan ibu Boa. Kau bisa datang pada kami kapanpun itu" bisik Junho.

Jeno hanya mengangguk menanggapi. Ia masih sibuk menangis dipelukan Junho. Menyembunyikan wajahnya di bahu lebar sang ayah.

***

Jaemin menurunkan Hina di rumah rusun. Jaemin belum pernah datang ke tempat ini. Hanya sebuah rumah rusun sederhana, bukan apartemen.

"Kau yakin?" Tanya Jaemin pada Hina.

Beautiful Time (YOU AND I) | Book II ⚠️ON HOLD⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang