9. Waktu yang Tepat

3K 315 15
                                    

Ayodong, mana ini votenya?

<<<>>>

Waktu yang tepat. Itu yang gue tunggu selama ini, untuk mengungkapkan perasaan gue. Jadi tolong, jangan pergi, tetap di samping gue sampai waktu yang tepat itu datang.”

- Ares Sandehang -

<<<>>>

Ares berpikir kepalanya akan meledak pada beberapa saat yang lalu. Semenit saja dia telat keluar dari ruang kelas akuntansi, pasti dia akan kejang-kejang. Membuat seisi kelas heboh, sementara dosen yang mengajar tertawa puas. Ares memang senang berbicara masalah bisnis, apalagi kalau topik pembahasannya mengenai uang. Tapi kalau sudah bicara akuntansi, dengan segala laporannya yang membuat pening, Ares selalu ingin menyerah untuk menjadi penerus usaha papinya. Ini baru kuliah, belum memimpin perusahaan yang lumayan besar, dengan puluhan karyawan yang menjadi tanggung jawab.

Dan sekarang, sambil menopang kepala dengan tangan kanannya, Ares sudah mirip orang linglung. Rambutnya tampak berantakan, tatapan matanya kosong, belum lagi dengan bibir komat-kamit tidak jelas. Orang-orang yang lewat di depan mejanya hanya bisa geleng kepala. Ares yang biasanya terlihat sangar, atau terkadang terlihat jenaka, sekarang begitu menyedihkan karena mata kuliah akuntansi.

“Kepala lo berasap tuh, Res,” celetuk Rigel sambil memberikan satu gelas es jeruk ke hadapan Ares. Dia terkekeh geli melihat penampilan Ares sekarang. Kalau ada yang macam-macam dengan Odit, dia selalu maju paling depan. Tapi kalau sudah berhadapan dengan akuntansi, Ares selalu duduk paling belakang. “Katanya preman kampus, semua orang takut sama lo. Kenapa bisa kalah telak sama akuntansi?”

Ares mendelik tak suka. Dengan cepat, dia menyambar es jeruk yang diberikan Rigel. Menyeruputnya dengan tidak sabar, lalu mengunyah es batu dengan kekuatan rahang maksimal. “Gue itu bukan kalah, cuma masih bingung aja gimana strategi yang ampuh buat kalahin si akuntansi. Heran, siapa sih yang ciptain mata kuliah susah itu? Dia nggak tahu apa kalau gue nggak bisa?!” sewot Ares dengan mulut yang penuh dengan es batu. Kemudian matanya melirik Rigel yang masih terlihat rapi-rapi saja keluar dari kelas akuntansi. “Gel.”

“Apaan?” Rigel sama sekali mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel. Dia sedang menghubungi Nilam, gadis itu juga baru keluar dari kelasnya.

“Ajarin gue akuntansi dong. Gue nggak bisa kayak gini terus. Gue yang bakal nerusin usaha bokap, gue harus bisa kalahin si akuntansi sialan itu. Lo kan pinter tuh, lumayan lah, nggak ada salahnya bagi-bagi ilmu sama gue.” Ares berusaha menampilkan senyum semanis mungkin saat Rigel menatapnya sekilas. Tapi kemudian, pemuda itu kembali sibuk dengan ponselnya setelah mendapatkan balasan dari sang pujaan hati. “Katanya sahabat, masa nggak mau bantu sahabatnya lagi kesusahan sih? Gue aja udah sayang banget sama lo, udah nggak tahu lagi gimana cara mendefinisikan rasa sayang gue. Mau kan bantuin gue? Lo tambah ganteng tahu kalau lagi beramal baik.”

Setelah selesai dengan urusan ponsel, Rigel menyimpan benda pipih itu di atas meja. Nilam akan mampir ke perpustakaan terlebih dahulu. Mereka berdua janjian di tempat parkir 10 menit dari sekarang. Dalam waktu yang sesingkat itu, Rigel bisa menyampaikan sesuatu yang penting pada sahabatnya yang bodoh ini. Dalam mata kuliah lain, nilai Ares selalu seimbang. Yah, meskipun tidak pernah melebihi nilai Rigel. Dia hanya bodoh dalam dua hal, akuntansi dan juga masalah perasaannya.

Rigel tersenyum miring, membuat Ares was-was. “Kenapa nggak minta tolong sama Odit aja? Dia pintar, banget malah. Gue yakin dia bisa ngerti sama akuntansi semester 5. Dia juga pasti mau ngajarin lo.”

Punggung Ares dibanting ke sandaran kursi, dia juga berdecak keras. Sedangkan sahabat laknat yang ada di seberang mejanya malah tertawa puas sekarang. Maksud Rigel, bukan sekedar minta diajarkan akuntansi saja, tapi juga ada niat lain. Itu semacam sindiran halus yang berhasil memukul Ares dengan sangat keras. Dari rentetan kalimat yang membahas masalah akuntansi, Rigel menyelipkan amanat mulia supaya Ares berani mengungkapkan perasaannya. Sudah tidak terhitung berapa kali Ares menerima sindiran seperti ini, tapi reaksinya tetap sama, dia tidak bisa berkutik sama sekali.

Mitologi Cinta [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang