“Dalam hidup ini, ada dua macam orang yang ditakdirkan untuk kita. Orang yang sekedar singgah tapi meninggalkan jejak, serta orang yang datang untuk tetap di samping kita selamanya. Dan gue percaya, lo adalah orang yang ditakdirkan untuk menemani gue selamanya.”
- Afrodit Nindya -
<<<>>>
“Adik saya dirawat di ruang VIP ya, Sus. Nanti saya akan tambah administrasinya.”
“Baik, Mbak.”
Odit menatap Wasa yang berada di atas blankar dengan penuh pengharapan, semoga dia cepat sadar dan sehat seterusnya. Dia berharap, ini menjadi operasi terakhir yang harus Wasa jalani selama hidupnya. Jangan sampai dia berurusan dengan rumah sakit lagi, dengan diagnosis ini itu lagi, bahkan dengan ruang operasi lagi. Dia harus tumbuh sehat, penuh keceriaan, penuh mimpi yang harus ia capai. Wajar-wajar saja jika Odit berharap seperti itu untuk Wasa, bukan? Mengingat status Bu Inez dan laki-laki yang mengaku sebagai ayah kandung Wasa, dia tetaplah kakak anak itu.
Perhatian Odit beralih pada Bu Inez dan seorang laki-laki berkumis yang baru tiba di rumah sakit sekitar 2 jam yang lalu. Odit lupa namanya siapa, yang jelas, dia adalah suami sah mommy-nya saat ini. “Nggak perlu berterima kasih. Odit ngelakuin ini bukan buat Mom ataupun Om, ini semua buat kenyamanan Wasa, supaya dia bisa cepat sembuh.”
“Tetap saja, Nak, sudah seharusnya kami berterima kasih,” ucap Bu Inez, tidak mengidahkah perkataan putrinya. Beliau sudah tidak bisa lagi menahan air mata bahagianya. Meskipun wajah serta nada bicara Odit sangat datar, tapi beliau tahu, Odit sangat peduli pada Wasa meskipun mereka baru bertemu 1 minggu. “Nanti, kita bicara, Dit? Mommy ketemu Wasa dulu.”
Odit masih berdiri di sana saat Bu Inez dan suaminya bergerak untuk mengikuti blankar Wasa. Entahlah, dia tidak tahu apa yang sedang dia perbuat saat ini. Odit hanya berpikir bahwa kenyamanan bisa membuat Wasa lebih cepat sembuh. Dan bagaimana mungkin anak itu akan merasa nyaman kalau harus berbagi ruangan dengan pasien lain? Lagipula, Odit sangat mampu untuk membayar administrasi ruang rawat VIP, tidak ada salahnya dia berbuat baik.
“Baik banget sih bidadarinya gue?” Tiba-tiba saja sebuah suara menghentikan lamunan Odit, lengkap dengan rangkulan di bahunya. Siapa lagi yang akan memanggil Odit seperti itu kalau bukan Ares? “I proud of you, Nin. Lo berjuang buat lewati batas, dan lo bisa lewati itu. Gue tahu, lo bisa sebaik ini.”
“Lo ngomong apaan sih?” Odit menatap Ares dengan datar. Dia tidak merasa sudah melakukan sesuatu yang 'wah'. Dia hanya sedikit berbuat baik pada adiknya sendiri. “Anter gue ke bagian administrasi, yuk? Terus, kita jenguk Nino, mumpung udah di sini juga.”
Ares memgangguk mantap dan segera menggenggam tangan Odit sambil melangkah dari sana. Semenjak mereka memulai semuanya, saling berpegangan tangan sepertinya sudah menjadi sebuah keharusan. Dan tentu,mereka sangat menyukainya.
***
Tantangan terbesar bagi pembalap adalah kecelakaan di arena balap. Pembalap profesional saja, yang memiliki tim terlatih, yang perlengkapan keamanan tubuhnya sudah paling optimal, yang performa motornya sudah disiapkan jauh-jauh hari, pasti memiliki peluang untuk mengalami kecelakaan di arena balap. Apalagi para pembalap liar. Tim yang bersorak di belakangnya hanya sejejeran sahabat-sahabat laknat, tubuh hanya dibalut jaket dan celana seadanya, performa motor sekedar dipanaskan mesinnya beberapa saat sebelum turun. Jelas sekali peluang kecelakaan lebih besar dibandingkan selamat.
Dan di sinilah Nino, terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dengan keadaan lutut diperban. Kata dokter, tempurung Nino terlpas dari tempatnya. Dia kecelakaan karena harus menghindari seorang bapak-bapak yang siap membacoknya menggunakan celurit. Setelah ditelusuri Rigel dan Ulum ternyata itu orang gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitologi Cinta [Tamat]
General FictionSpin of 'Jurnal Tentang Kamu' dan 'Rasi Rasa'. Seperti yang dikisahkan dalam mitologi Yunani, Ares adalah Dewa Perang. Kekuatan yang ada di kepalan tangannya mampu membuat orang lain patah tulang hidung dengan sekali pukulan. Dan itulah yang membua...