3. I'm Yours

5.1K 412 12
                                    

"Kalau lo sedih, bahu gue selalu siap buat jadi sandaran. Mau nangis juga boleh, gratis kok."

- Ares Sandehang -

<<<>>>

Tentang Afrodit Nindya?

Kalau dilihat secara kasat mata, dia sama saja dengan gadis lain yang berusia 20 tahun. Cantik, sering hangout dengan teman-temannya, memiliki popularitas yang diinginkan banyak orang, memiliki wajah yang bersinar saat tertawa, fashion baju yang menempel pada tubuhnya selalu pas dengan perawakannya. Apalagi kaum Adam, sudah pasti akan langsung menyukai Odit pada pandangan pertama. Melihat matanya yang jernih, wajahnya yang lucu dengan sedikit freckless di bawah matanya, serta tawa renyah yang tidak terlalu banyak orang lain dengar. Pokoknya Odit itu definisi sempurna kata mereka yang tidak terlalu dekat dengannya.

Tapi akan beda lagi jika pertanya tentang Odit pada mereka yang mengenal Odit dari sejak lama. Ada Tata dan Haya yang menjadi sahabatnya sejak SMA, juga Ares yang setiap hari menempel padanya. Odit tidak sempurna, karena memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Odit punya luka, yang menyebabkan dia memiliki krisis kepercayaan terhadap orang lain. Dia selalu berfikiran negatif pada siapa saja yang tiba-tiba mendekatinya. Kalaupun orang itu murni mau berteman dengan Odit, dia tidak akan luput dari rasa curiga Odit. Termasuk teman sekelasnya yang tiba-tiba duduk di sampingnya seperti sekarang.

"Hai, Dit," sapa laki-laki itu, sedang tersenyum lebar sambil memposisikan tubuhnya untuk menghadap Odit. "Mau pulang bareng gue, nggak?"

Kepala Odit bergerak ke sana ke mari. Sialnya, hanya tinggal mereka berdua saja yang ada di kelas ini. Dia kembali melihat ke arah laki-laki itu. Odit hanya tahu kalau mereka satu kelas, tapi dia tidak tahu namanya siapa. "Emm ... Ada apa, ya? Kok tiba-tiba ngajak gue pulang bareng?" Odit jadi bingung sendiri harus memanggil orang ini dengan sebutan apa. Dia tidak pernah mau tahu nama orang lain. Pernah dua kali diselenggarakan makrab saja, Odit lebih memilih untuk bekerja di studio dibandingkan ikut.

"Nggak ada apa-apa sih, pengen aja ngajak lo pulang bareng." Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Dia jadi grogi sendiri karena dipandang langsung oleh Odit seperti sekarang. Tapi kemudian, wajahnya menampilkan kekecewaan. "Atau lo mau pulang bareng Ares, ya?"

"Gue mau jalan sama temen-temen gue." Odit melipat kedua bibirnya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menolak ajakan orang itu. Memang sudah sering dia menerima tawaran tumpangan dari mahasiswa Citaprada tapi itu tidak membuat Odit bersikap semena-mena. Dia masih memiliki rasa sungkan, takut menyakiti orang itu. "Duh, sorry banget, ya? Kayaknya kita nggak bisa pulang bareng deh. Alesan lo nggak jelas kenapa ngajak gue pulang."

"Emangnya harus ada alesannya ya, Dit?"

Odit terdiam. Selalu saja begini, dia bingung harus menajwab seperti apa setiap kali ada orang yang bertanya demikian, "harus ada alasannya?". Tapi ya, Odit membutuhkan alasan untuk setiap ajakan orang lain terhadap dirinya. Odit perlu tahu motif apa yang mendorong mereka untuk tiba-tiba mendekatinya. Dia tidak mau kecewa, tidak mau salah mengartikan tujuan mereka, tentang tulus atau tidaknya.

Bukan gadis yang naif atau merendah, Odit menyadari fisiknya menjadi daya tarik tersendiri untuk lawan jenis. Itu semua karena adanya darah Inggris dalam tubuhnya, dari sang ayah. Tapi sungguh, sekali pun dia tidak pernah memanfaatkan keadaan fisiknya itu untuk menarik perhatian laki-laki, seperti orang-orang sirik katakan. Maju di ajang putri kampus pun adalah paksaan dari teman-teman sekelasnya yang berambisi untuk menang. Dia tidak pernah menginginkan popularitas, karena itu berarti dia akan menerima tekanan dari segala arah.

Mitologi Cinta [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang