29. Gulana

1.9K 248 19
                                    

Gue cinta lo. Di saat otak gue membantah, kenapa hati gue malah berteriak setuju?”

- Afrodit Nindya -

<<<>>>

Dengan langkah yang tergesa-gesa, serta ponsel yang diapit di antara telinga dan juga bahu, Ares berjalan menuju meja makan. Di sana, Bu Alina sedang sibuk menyiapkan sarapan bersama Vita. Ya, gadis itu menginap tadi malam. Karena tidak ada yang mengantar pulang, dan juga kemungkinan gerbang rumah kosan sudah ditutup, Vita tidur di kamar yang biasa ditempati Odit. Dia dibangunkan Bu Alina setelah Odit pergi dari sana. Jangan tanya bagaimana perasaan Bu Alina, jelas kali beliau merasa bersalah.

“Mi, emang Nindya ke sini tadi malam?” Ares sekarang sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya. Kemudian dia berdecak keras, karena panggilan darinya tak kunjung diangkat. Ini bukan sekali dua kali, sudah yang ke-7 kali Ares berusaha untuk menghubungi Odit.

Pergerakan Bu Alina, -yang sedang menata makanan diatas meja, terhenti seketika. “Iya,  semalam Odit ke sini. Tapi cuma sebentar. Pas lihat kamu udah tidur, dia langsung pulang lagi.” Bayangan betapa sedihnya wajah Odit tadi malam kembali beliau ingat. Pasti itu semua karena kedekatan Ares dan Vita. Sejujurnya Bu Alina bingung, mengapa odit apa harus bereaksi seperti itu mengingat dia sudah memiliki kekasih.

Ares berdecak. “Kenapa Mami nggak bangunin Ares?” protesnya sambil kembali berusaha untuk menghubungi Odit. Bisa saja Ares langsung datang ke rumah Odit untuk mengajaknya pergi ke kampus bersama seperti biasa. Tapi tidak tahu kenapa, perasaannya tidak enak. “Dari tadi Ares coba telepon, nggak diangkat-angkat. Masa iya Nindya belum bangun? Atau, dia kecapean ya, Mi? Kalau sampai sakit, gimana dong?”

“Odit ke Bandung, ada kerjaan di sana. Dia juga bilang sama Mami, dia bisa aja sibuk di sana, jadi nggak bisa kasih kabar sama kamu cepet-cepet.” Lagi, Bu Alina mendengar decakan keras dari bibir putranya. Hanya saja, kali ini disertai dengan hembusan nafas panjang serta wajah penuh kekecewaan. “Dia nggak bilang sama kamu karena tahu kamu pasti minta ikut. Baru juga sembuh, mau cari penyakit lagi?”

Dengan sengaja, Ares membanting tubuhnya ke salah satu kursi yang ada di sana. Tidak biasanya Odit seperti ini. Kalaupun memang Ares tidak bisa ikut, Odit selalu memberitahunya jika ada pekerjaan di luar kota. Bahkan, Odit selalu minta diantar pergi ke minimarket untuk membeli beberapa keperluan. Tapi kali ini, Odit pergi tanpa sepatah kata pun. Meskipun terdengar sepele, tapi ini bukan kebiasaan persahabatan mereka. Ares merasa, ada sesuatu yang salah dengan Odit.

“Tapi ini masih pagi banget, masa udah mulai kerja sih?” Ares kembali menyuarakan pertanyaan di dalam kepalanya. Karena selain ini terlalu pagi, Odit tidak pernah lepas dari ponselnya, kecuali jika memang itu giliran dia untuk berpose di depan kamera. Ares sampai menggaruk-garuk kepalanya lumayan keras, saking bingung dengan situasi ini. “Pulang kuliah nanti, Ares mau susul Nindya ke Bandung, boleh?”

Saat itu juga, Bu Alina langsung melotot. “Jangan aneh-aneh deh, Res! Penyakit kamu tuh baru aja kambuh, kamu baru baikan. Udah mau pergi jauh aja. Mana ke tempat yang dingin lagi. Sadar diri dong, Res!” semprot Bu Alina. Beliau tidak mempedulikan kehadiran Vita di sana, memang sudah sepatutnya Ares diceramahi. “Odit itu perempuan yang mandiri, Res. Dia pasti bisa urus diri dia sendiri di sana, pasti bisa jaga diri. Kamu nggak usah berlebihan kayak gini, kondisi kamu aja belum benar-benar pulih. Kamu harus bisa mengukur kemampuan tubuh kamu sendiri, Ares.”

“Mami nggak asik!” Ares pergi dari meja makan selayaknya balita yang marah karena tidak dibelikan mainan. Dia berjalan menuju teras sambil terus memainkan ponselnya. Jika ponsel Odit tidak bisa dihubungi, Ares akan mencoba untuk menghubungi orang lain, contohnya Farzan. Dan terbukti, panggilan itu langsung terangkat tanpa perlu menunggu lama. “Hallo, Mas. Gue ganggu kerjaan lo, nggak?”

Mitologi Cinta [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang