44. Berdamai dengan Takdir

2.9K 263 25
                                    

“Gue tidak akan puas dengan semua ini. Justru, perjuangan baru gue baru dimulai. Yaitu membahagiakan lo.”

- Ares Sandehang -

<<<>>>

“Bang Ares jadi makin jelek ada codetnya gitu.” Aether menunjuk wajah Ares menggunakan pancingan mainannya. Tak lupa dengan bibir atasnya yang terangkat, semakin jelas kalau dia memang tidak suka luka di wajah Ares. “Lihat wajah Bang Igel dong. Udah cakep, wangi, mulus lagi.”

Secara bersamaan, Athena dan Wasa menoleh. Mereka sedang memancing ikan plastik yang dijajarkan di atas meja. Dengan bantuan magnet di tali pancingan, mereka bisa mendapatkan ikat itu. Namun, kegiatan bermain mereka harus terjeda dengan komentar tajam Aether tentang wajah kakaknya. Saat Athena dan Wasa sibuk mengawasi wajah Ares, laki-laki itu malah acuh saja mengunyah apel merah. Menatap para bocah dengan malas, terutama mulut menyebalkan Aether yang ingin sekali dia sumpal.

Setelah puas, Athena kembali menambahkan pancingannya. “Bang Igel bilang, Bang Ares dapet luka itu waktu mau nyelametin Kak Odit dari penjahat. Kayak Superman, pahlawan biasanya dapet luka waktu berantem.” Athena menjeda, menatap papinya yang sedari tadi mengamati semua kegiatan anak kecil di sana. “Berarti, Bang Ares juga pahlawan, Pi?”

“Yah,” cetus Aether. Bahunya sudah merosot drastis. “Coba kalau Bang Ares ajak Aet juga, Aet yang bakal jadi pahlawan. Bang Ares curang!”

Ares berdecak keras. Rayhan sudah ikhlas melepaskan Odit, sekarang malah adiknya sendiri yang mau maju sebagai saingan. Sudah mengatakan kalau wajahnya semakin jelek karena luka sayatan pisau, sekarang ditambah dengan menyalahkan Ares karena tidak mengajaknya dalam aksi penyelamatan Odit. Kalau di sana tidak ada Pak Krisna, sudah pasti Ares akan menjitak kepala Aet.

“Anak kecil main mobil-mobilan aja sana, nggak usah banyak tingkah. Lihat Wasa, adem ayem aja, nggak banyak komentar kayak kamu.” Ares menyimpan terlebih dahulu apelnya. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan menunjuk luka codet di wajahnya dengan penuh bangga. “Lagian, ini tuh bukan codet sembarang codet. Ini tuh pelet. Kak Odit bakalan mau sama Bang Ares kalau ada codet ini. Kak Odit nggak bakal lirik-lirik yang lain.”

Dengan senyum penuh kemenangan, Ares kembali bersandar ke sofa. Kembali menggigit apelnya dengan dada yang terbusung ke depan. Dia tampak senang melihat Aether tampak berpikir. Setidaknya begitu, sebelum pertanyaan polos lolos dengan mudah dari bibirnya.

“Pelet buat makan ikan ya, Bang?”

“Kampret!” caci Ares dalam hati. Sekedar dalam hati, dia tidak akan berani bicara kasar di depan Pak Krisna. Bisa didepak dari rumah. “Main ikan aja sono! Abis sama Thena sama Wasa noh!” Ares memutar kepala Aether kembali ke arah meja. Capek bicara sama anak ajaib itu. Sementara itu, Ares malah mendapati tatapan dalam dari papinya. “Kenapa, Pi? Ares ganteng, ya?”

Pak Krisna menggeleng, sebagai jawaban kalau anaknya tidak setampan itu. “Kamu sayang sama Odit bukan sebagai sahabat aja, kan?” todong Pak Krisna tiba-tiba. Sedari tadi, beliau terus memperhatikan pergerakan Ares. Dia terlihat sangat bahagia meski beberapa bagian di tubuhnya ada luka. “Terus terang aja sama Papi. Papi juga pernah muda.”

Pertama, Ares menelan dulu apel yang ada dilidahnya. Kemudian, dia nyengir sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Gimana bisa ngelak kalau udah ketahuan di awal? Iya, Ares sayang sama Odit lebih dari sahabat, Pi,” terus terang Ares. Lagian, apa lagi yang perlu ditutupi? Ares berharap, dengan pengakuannya ini, papinya bisa mendukung hubungannya dengan Odit. “Odit juga sayang sama Ares lebih dari sahabat, Pi.”

Mitologi Cinta [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang