Tsalatsah wa isyruna [23]

4.6K 231 11
                                    

Suara orang mengaji dari Musholah komplek membangunkan Arsyi. Arsyi mengucak matanya, melamun sebentar, menatap langit langit kamarnya, kemudian membaca doa bangun tidur.

"Kok uda pada ngaji di Musholah sih, emang uda subuh ya?" tanya Arsyi bermonolog, tangannya meraih ponsel, hendak melihat jam.

"Astaghfirullah, kenapa aku nggak bangun pas subuh berkumandang? Mas Bangga pasti ke Musholah, pinteeeer ya nggak bangunin istri." Arsyi ngomel ngomel sendiri, sebal karena Bangga tidak membangunkannya saat subuh berkumandang tadi.

"Tunggu, sepertinya ada sesuatu yang aku lupakan, apa ya?" Arsyi terduduk di bibir ranjang, menatap kakinya yang menggantung.

Tiba tiba Arsyi tersenyum, menjerit girang, kemudian berguling kesana kemari di atas kasur, tidak lupa kakinya mencak mencak tidak jelas--saat dia ingat hal apa yang dia sempat lupakan.

"Aaa, nanti kalo pas ketemu gimana? Aih, malu," ucap Arsyi dilanjut dengan guling guling di atas kasur, tubuhnya terbalut selimut seperti kepompong.

Arsyi diam, menatap langit langit kamar, menghela nafas lega. Tadi malam benar benar malam yang manis, kini Arsyi harus mengakui bahwa dirinya bukan gadis lagi.

"Netral, aku harus netral, ini semua adalah hal wajar dalam hubungan rumah tangga. Netral Arsyi...netral."
Arsyi bangkit menuju kamar mandi, melakukan mandi besar kemudian melaksanakan sholat subuh, tidak lupa mengaji Al-quran selepas sholat subuh.

Setelah Arsyi melakukan kewajibannya, Arsyi mulai berkutik di dapur, seraya menunggu Bangga pulang dari Musholah, Bangga pasti sedang melakukan kajian subuh di Musholah bersama Bapak bapak dan Mas mas komplek. Arsyi memutuskan untuk memasak lebih pagi, Arsyi tidak tahu hari ini Bangga berangkat pagi atau tidak, untuk berjaga jaga, Arsyi masak lebih pagi.

"Morning."

Arsyi menjengit saat tangan kokoh itu melingkar di perutnya, untung Arsyi stabil dalam memegang pisau yang digunakannya untuk memotong daun bawang, jika tidak, pasti jarinya yang akan terpotong.

"Mas...Arsyi sedang pegang pisau," kesal Arsyi, Bangga benar benar tidak melihat kondisi.

"Maaf," balas Bangga yang masih memeluk Arsyi dari belakang. Bangga masih mengenakan koko lengkap dengan peci, karena dia baru pulang dari Musholah.

"Hari ini berangkat pagi atau siang?" tanya Arsyi, masih dalam posisinya.

"Pagi, tapi nggak pagi banget," jawab Bangga, dagunya dia sandarkan di pundak Arsyi mesra, sebenarnya Arsyi geli, tapi mau gimana lagi, toh Arsyi suka kalau Bangga manja kayak gini.

"Jam sembilan?"

"Yup."

***
Arsyi dengan telaten mengancingkan seragam doreng yang Bangga kenakan, hari ini Bangga manja sekali, tidak seperti biasanya, yang biasanya makan sendiri, tadi pagi Bangga minta disuapin, yang biasanya ganti baju sendiri, Bangga malah minta digantiin, sudah begitu dia tidak mau mengancingkan seragamnya sendiri, benar benar seperti anak SD. Tapi, Arsyi suka melakukannya, karena memang ini waktu mereka, waktu khusus. Bangga akhir akhir ini padat kerja walaupun belum ada tugas di luar kota atau bahkan sampai ke perbatasan, tapi pekerjaan di Kompi juga menumpuk katanya.

"Nanti pulang jam berapa?" tanya Arsyi di sela sela dia mengancingkan seragam.

"Nggak tau," jawab Bangga seraya menatap Arsyi lekat. Bangga sangat suka jika menatap wajah istrinya yang sangat dekat seperti ini, selain mengambil kepuasan untuk hatinya, kata Pak Ustadz, memandang wajah istri seperti ini adalah pahala. Apa sih yang bukan pahala dari sebuah rumah tangga, semuanya hampir mendapat pahala. Memandang wajah istri, memandang wajah suami, saling bersenda gurau, bercengkerama, semuanya pahala, bahkan masih banyak hal lagi yang menimbulkan pahala.

MAS BANGGA [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang