Itsnan wa Arba'iina [42]

1.8K 156 4
                                    

Arsyi tengah merapikan barang barang yang ada di kamarnya, wanita itu ingin menyetting ulang tatanan kamarnya, karena dia fikir kamarnya terlalu banyak barang dan harus disortir supaya lebih ringkas.
Wanita itu juga merapikan beberapa barang bayi yang dia terima dari sanak saudara, padahal sikembar belum lahir ke dunia, tapi sanak saudara sudah banyak yang ngasih ini itu.

"Gunting dimana ya?" Arsyi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia lupa menaruh gunting yang baru saja dia gunakan.

"Apa aku taroh di laci kembali? dimana sih?" Arsyi beringsut menuju laci yang ada di dekat tempat tidurnya untuk mencari gunting yang dia maksud. Alih alih gunting, Arsyi malah menemukan selembar surat yang terlipat rapih disana, dengan gerakan ragu Arsyi mengambil kertas tersebut.

"Apa ini?" Arsyi bertanya kepada dirinya sendiri tentang surat apa itu.

deg

Aku harus kuat, aku tidak boleh nangis hanya karena surat tugas ini, kali ini aku harus lebih tegar dan mendukung suamiku.

Arsyi memejamkan matanya, sekedar menetralkan isi hatinya yang kini menjerit setelah membaca surat yang dia pegang. Ternyata surat perintah untuk Bangga berangkat ke perbatasan bersama tim-nya.

"Kenapa Mas Bangga ngga bilang? ini dua hari lagi. Jadi pelatihan waktu itu untuk ini?" Arsyi memegang erat dadanya yang terasa sangat sesak kali ini.

"Nggak boleh nangis, nggak boleh nangis! ada sikembar disini yang akan menemani, jangan nangis Syi!" Arsyi menenangkan dirinya sendiri, dia tidak mau membuat suaminya khawatir saat berangkat nantinya.

"Sayang..." Bangga datang, dia berdiri mematung dengan tangannya yang masih memegang gagang pintu. Jelas dia terkejut karena istrinya sudah menemukan surat tugas tersebut.

"Mas bisa jelasin semuanya." Bangga mendekat seraya meraih surat tersebut, matanya memancarkan kesedihan dan juga rasa syukur, entah perasaannya campur aduk sekarang.

Alih alih marah, Arsyi malah tersenyum tulus seraya mengusap pipi suaminya, "mau dibicarakan baik baik? sambil duduk?" tawar Arsyi dengan senyumnya.

Bangga mengangguk kemudian membimbing Arsyi untuk duduk di bibir ranjang.

"Jadi, apa yang akan Mas jelaskan?" tanya Arsyi lembut, berusaha sebisa mungkin mengerti suaminya. Padahal dalam hatunya sedikit protes dengan semua ini, namun kembali lagi. Arsyi bukan sekedar istri seorang Bangga Perwira, namun Arsyi juga seorang istri Abdi Negara. Jika di rumah Bangga adalah miliknya, namun jika tugas sudah menjemput maka Bangga adalah milik Negara. Arsyi harus bisa menerima itu.

"Surat itu datang tadi siang. Ada kelompok pengacau di perbatasan, setelah diamati mereka tanpa identitas, dan mereka sudah membuat kekacauan sangat fatal, mereka juga membawa alat alat bersenjata. Mas ingin bicarain sejak awal tapi Mas nggak tega sama kamu, Mas nggak siap." Bangga menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap wajah istrinya yang mungkin sekarang tengah menampilkan wajah sedihnya.

Arsyi tersenyum," apa arti surat ini bagi kamu?" tanya Arsyi seraya menggenggam tangan suaminya.

" Aku merasa terhormat mendapat tugas ini, tentu saja aku senang sebagai seorang Abdi Negara yang mendapat tugas ini. Namun disisih lain, hatiku berat meninggalkan kamu yang tengah mengandung, tapi...tap___"

"Hadap sini, tatap aku Mas." Arsyi menangkup wajah Bangga untuk menatap wajah Arsyi. Sedari tadi Bangga hanya menunduk dan Arsyi tidak suka itu.

"Berangkat Mas, demi Negara kita aku rela kamu menjalankan tugas ini, aku akan terus menunggu kamu. Apa kamu lupa, kalo kamu pernah bilang, jangan pernah cemburu dengan Indonesia, karena aku dan Indonesia punya tempatnya masing masing di hati kamu, iya kan?" Arsyi menatap mata Bangga tulus, Arsyi sungguh sungguh dalam hal ini.

"Lihat aku Mas, apakah aku menangis? tidak! aku benar benar merelakanmu untuk Negara. Berat? tentu saja, namun itu memang resiko untuk aku. Berdiri yang tegap! berdiri di garda terdepan untuk membela Indonesia, untuk melawan musuh, untuk mengusir para pericuh. Jika kamu letih, aku selalu siap jadi tempat pulangmu." Arsyi mengusap pipi suaminya, wanita itu sama sekali tidak menangis, dia tidak mau membuat suaminya bimbang untuk menjalankan tugas yang sudah dia nanti nantikan sejak dulu.

Mata Bangga bergetar, cairan bening itu luruh begitu saja dari mata seorang Bangga. Melihat istrinya sudah sekuat itu, berarti istrinya sudah pernah merasakan betapa indahnya merindukan dan pahitnya sebuah kemungkinan kemungkinan buruk. Demi apapun, hati Bangga remuk melihat senyum istrinya yang senantiasa terbit itu, Bangga tidak tahu kabar hati istrinya, karena yang Arsyi tampilnya hanya seguras senyum indah dan ketulusan dari mata bulatnya.

Bangga merengkuh tubuh mungil Arsyi, dia tidak sanggup membendungnya lagi. Bangga menangis tersedu seraya memeluk istrinya.

"Baru kali ini aku lihat Mas nangis sampe sesenggukan." Arsyi mengusap usap punggung lebar Bangga, Arsyi baru menyadari bahwa selama ini semuanya ditahan oleh Bangga, dan sekarang tumpah sudah kekhawatiran seorang Bangga, tumpah sudah kesedihannya, kebimbangannya, dan emosinya.

"Aku siap menunggu kamu kapan saja, percaya sama aku Mas," ucap Arsyi menenangkan. Sedangkan Bangga masih menangis sesenggukan.

***
Dua hari berlalu, hari yang membuat hati dua insan berderu hebat itupun tiba. Arsyi berdiri disini sekarang, dimana tempat Bangga dan teman satu tim-nya akan dikirim ke perbatasan PNG. Arsyi dengan seragam persitnya yang rapih, begitu juga ibu ibu persit lainnya yang juga mengalami hal yang sama dengan Arsyi. Mereka mengantar suami mereka untuk pergi tugas.

" Ayah berangkat dulu ya, jagain Bunda untuk Ayah." Bangga dengan seragam lengkapnya, mengelus perut Arsyi sayang, kali ini dia bukan hanya meninggalkan wanitanya, dia juga meninggalkan buah hatinya. Dalam hati, Bangga berharap penuh, dia harus bisa melihat anaknya tumbuh besar, Bangga ingin sekali melihat mereka tumbuh besar, dan juga melihat istrinya yang lambat laun akan memutih rambutnya, Bangga sangat ingin melihatnya.

"Semoga kamu berhasil dalam tugas ini Mas, kamu harus melihat si kembar tumbuh besar dan menjadi lelaki gagah dan perempuan kuat," ucap Arsyi seraya memeluk Bangga erat. Arsyi tidak menangis, dia berhasil mengumpulkan kekuatannya untuk tidak menangis di depan Bangga.

"Sudah dipanggil, Aku berangkat ya." Bangga memegang tangan Arsyi erat, pandangannya sama sekali tidak lepas dari mata sendu Arsyi, Bangga tau, Arsyi hanya menahan dirinya untuk tidak menangis.

"Hati hati, jangan lupa pulang. Semoga berhasil. Bismillah ya Mas." Arsyi mencium punggung tangan Bangga takzim.

Bangga berangkat bersama rombongannya, dengan doa doa yang Arsyi panjatkan setiap detiknya, berharap Bangga pulang dengan selamat.

🌵🌵🌵🌵

Selamat bertugas Bangga....

Btw, maaf banget kalo feelnya kurang dapet, huhuhu apalah dayaku yang amatir ini.

semoga kalian sukak❤️
jangan lupa vote dan komen guys ku sayang❤️❤️❤️❤️

Oiya, btw akhir akhir ini jarang banget yang komentar😢 author jadi syediiiih😭

Tapi kalian tetap dihatiku kok sayang sayangku😢❤️❤️❤️❤️❤️
.
.
Baca ceritaku yang lain juga yuk
judulnya ABINARA. Kalian bakal diajak menyelam kedunia Abimanyu Putra Perwira (Anak dari Bangga Perwira) dan Inara Purnamasari. Jika kalian menebak bahwa kisah ini hanya kisah cinta anak SMA biasa, kalian salah besar! penasaran? langsung saja yuk baca :)

 Jika kalian menebak bahwa kisah ini hanya kisah cinta anak SMA biasa, kalian salah besar! penasaran? langsung saja yuk baca :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MAS BANGGA [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang