30. Cry

40.2K 3.8K 252
                                    

Entah sudah seberapa lama dua gadis itu terkurung di dalam gudang. Namun sampai saat ini tak ada tanda-tanda jika sebentar lagi mereka akan keluar dari sana. Rosè benar-benar tidak bisa meninggalkan Lisa yang sudah tak berdaya untuk mencari sesuatu yang bisa membuat mereka keluar dari sana.

"Uhuk~"

Rosé menunduk, dengan bantuan cahaya remang-remang disana dia bisa melihat Lisa yang menahan sakit ketika kening adiknya itu berkerut berkali-kali.

"Kau sesak?" tanya Rosè mengusap dada atas Lisa karena tampaknya gadis berponi itu mulai sulit mengambil napas.

"Sepertinya kita harus menunggu sampai malam hari, Unnie." ujar Lisa yang berusaha menahan seluruh rasa sakit di tubuhnya. Lalu memandang ke arah pintu yang masih tertutup rapat.

"Setiap malam, security akan memeriksa semua ruangan. Aku pernah di kurung di gudang dan security itu menyelamatkanku." Lisa mulai mengenang masa dimana dia masih menjadi korban Eunha dan teman-temannya. Tersenyum sekilas karena lagi-lagi dia harus terkurung di ruangan penuh debu itu akibat ulah dari orang yang sama.

Lisa melihatnya. Bagaimana wajah muram Eunha ketika menutup pintu gudang itu sendirian. Padahal dulu, teman-temannya dengan sukarela akan membantu Eunha.

"Tubuhmu mulai panas, mana mungkin kita menunggu sampai malam?" suara itu penuh dengan rasa frustasi. Rosè memang merasa tersiksa karena lapar dan haus di waktu yang sama, namun dirinya lebih tersiksa merasakan tubuh adiknya jauh dari kata baik.  Walaupun kenyataannya Lisa berusaha meredam ringisannya agar tidak membuat Rosé khawatir, namun gadis blonde itu adalah kakak yang cukup peka.

Lisa memilih tak menanggapi. Memejamkan mata karena seluruh sendinya terasa dilimpahi oleh timah panas dan perutnya ditusuk ribuan kali. Rasa sakit yang membuat Lisa merutuki dirinya karena terlalu lemah. Sampai tak sengaja dia hampir menjatuhkan kepalanya di pundak Rosé, yang membuat kakaknya itu tersentak kaget.

"Lisa-ya, ada apa?" Rosé meraih tubuh Lisa. Meraba wajah adiknya yang sudah begitu basah oleh keringat.

"Mianhae, Unnie tidak bisa berguna untukmu." Rosé tidak bisa lagi menahan isakannya. Menarik kepala Lisa agar bersandar di dadanya. Terus menggumamkan kata maaf yang tidak ditanggapi oleh Lisa karena gadis itu sudah hampir pingsan.

.....

Jennie menginjak pedal rem mobilnya ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Menggigit kukunya gusar seraya berpikir kemungkinan keberadaan kedua adiknya.

"Ayolah otak genius, berpikirlah!" Gadis itu berujar sambil menekan dahinya kuat. Lalu tak lama membulatkan mata setelah mengingat sesuatu.

"Apakah mereka sudah memeriksa semua gudang di sekolah itu?" setelahnya Jennie hendak meraih ponsel di tas selempangannya, namun bunyi klakson membuat dia mengurungkan niatnya dan menginjak pedal gas karena lampu lalu lintas sudah berganti warna.

"Aku harus cepat sampai." Gumam Jennie menambah kecepatan mobil mewah miliknya.

Dan kini setelah menempuh perjalanan selam 30 menit, Jennie sampai di area Choseungdal High School. Turun dari mobil, gadis itu memasang tatapan tajam memasuki gedung sekolah. Mampu menarik perhatian murid-murid yang berkeliaran karena semua jam pelajaran dikosongkan.

"Omo! Bukankah itu Jennie sunbaenim?"

"Tatapannya masih tajam seperti dulu."

"Seharusnya dia masih duduk di kelas yang sama sepertiku. Sayang sekali aku tidak bisa mengencaninya."

"Dia bertambah cantik. Tapi tatapannya membuatku merinding."

Jennie mendesis. Bahkan setelah lulus saja dia masih menjadi topik perbincangan murid disana. Padahal mereka semua di didik dari keluarga kaya, namun mulut mereka menurut Jennie tidak lebih dari sampah masyarakat.

Hey, Lisa ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang