39. Hurt

33.9K 3.3K 382
                                    

Setelah pulang dari rumah sakit, Jisoo hanya bisa tertidur selama empat jam. Dan saat ini ketika pukul setengah sepuluh pagi gadis itu memilih keluar dari kamar karena merasa perutnya lapar.

Beberapa maid menyapanya dan menawarkan untuk dibuatkan sarapan. Namun Jisoo menolak karena dia ingin memakan sereal pagi ini.

Beberapa langkah lagi kakinya mencapai dapur, namun suara isak tangis menghentikan langkahnya. Dia berusaha menajamkan pendengarannya dan terkejut ketika suara itu adalah suara adiknya.

Cepat-cepat Jisoo berjalan memasuki dapur. Dan benar saja. Di sana sudah ada Rosé yang sedang memegang segelas air putih dengan tangis menemaninya. Tak ada maid yang berani mendekat dan mereka memilih melakukan pekerjaan rutin mereka.

"Kau kenapa, Chaeng? Ada yang menyakitimu?" Jisoo menyingkap rambut yang menutupi wajah adiknya.

"Hatiku sakit, Unnie." Rosè beranjak memeluk kakaknya. Karena kehangatanlah yang saat ini dia butuhkan untuk meredakan rasa sakit di hatinya.

"Siapa yang menyakitimu, hm? Biar Unnie hancurkan hidupnya sampai dia menangis darah." Jisoo membalas pelukan Rosé. Mengusap punggung sang adik guna menenangkannya.

"Lisa."

Jisoo seketika diam seribu bahasa. Tentu menarik kalimat sadis yang barusaja dia ucapkan.

"Dia tidak akan meninggalkanku kan?"

Anak pertama Kwon Jiyong itu menarik diri dari pelukan Rosé. Menghapus air mata yang membanjiri wajah cantik adiknya, lalu tersenyum manis.

"Tidak akan."

"Eoh, tanganmu terluka Unnie?" dengan wajah terkejut, Rosé menarik lengan kakaknya. Memperhatikan luka yang berjumlah lebih dari satu di lengan putih Jisoo.

"Gwenchana." Jisoo menghindar dengan menarik kembali lengannya. Menyembunyikan di balik tubuhnya.

"Ada sesuatu yang terjadi? Unnie, jujurlah padaku." Rosé tentu panik. Luka itu terbilang banyak untuk hal yang tidak disengaja. Dan Rosé takut jika luka itu adalah ulah dari seseorang untuk menyakiti kakaknya.

"Aniya. Tidak biasanya kau menangis seperti tadi. Ada apa, hm?" Niat Jisoo sebenarnya hanyalah untuk mengalihkan perhatian Rosé agar melupakan perihal lukanya. Namun tanpa dia duga, jawaban Rosé justru membuat hatinya tertusuk sangat dalam.

"Jennie Unnie bilang jika kanker Lisa meningkat menjadi stadium 3A."

"M-Mwo?"

.....

Sekitar pukul dua belas siang, setelah muntah-muntah hebat akhirnya Lisa tertidur dan mengistirahatkan matanya yang semalaman tidak terpejam sama sekali.

Jennie masih ada disana. Memandang sendu wajah lelah adiknya yang dipenuhi oleh peluh. Padahal Jennie selalu menghapus peluh itu, namun lagi-lagi terus keluar.

"Kau sudah disini, Sayang?" Jennie mengalihkan pandangannya kearah Dara yang baru memasuki ruangan Lisa bersama Jiyong dibelakangnya.

"Sudah berapa lama Lisa tertidur?" Dara mengeluarkan suara lagi namun dengan topik yang berbeda karena awalnya Jennie tak menjawab.

"Baru saja. Kalian tau seberapa keras obat itu menyiksanya." Jawab Jennie seraya menyingkap rambut yang sedikit menutupi wajah adiknya.

"Kau ingin makan? Eomma membawa sandwich." Tawar Dara pada anak keduanya.

"Ani."

Sejenak ruangan itu menjadi hening. Ketiga orang yang menemani Lisa itu memilih melakukan kegiatannya masing-masing. Jiyong yang mengecek pekerjaannya lewat ipad, Dara yang memasukkan baju ganti Lisa ke dalam lemari kecil, dan Jennie yang terus memgusap kening adiknya dengan lembut. Hingga hampir sepuluh menit berlalu, akhirnya Jennie memecahkan keheningan itu dengan suara lirihnya.

Hey, Lisa ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang